Kikik kecil melompat dari mulutmu melihat takjubku. Sayangnya kikik yang tak bertahan lama, yang kembali bermimikri menuju kesedihan yang sedia kala.
“Hujan seringkali membingungkanku, Bay.” Ucapmu sambil memutar-mutar cangkir kopi, sebelum akhirnya menyesap dengan gerakan yang amat perlahan.
“Barangkali aku memang tak akan pernah bisa untuk memahami hujan, karena yang kutahu, aku teramat merindukan hujan.”
“Tapi pilihan hujanmu selalu keliru, Rin.”
“Aku tak tahu, Bay. Aku menikmati hujan yang kini.”
“Bukankah usianya terpaut jauh denganmu, Rin? Juga status sosial dan pekerjaannya?”
“Pernahkah kau dengar cinta peduli dengan rupa atau raga, Bay? Atau usia… juga kasta?”
Aku terdiam. Cinta memang umumnya tak memiliki logika, selain logika cinta itu sendiri.
“Aku tahu kecurigaanmu yang menganggapnya sekedar memanfaatkan uang dan posisiku. Dan aku amat berterima kasih atas kepedulianmu, sejak kita masih sekolah dulu.”
Sekilas kulihat ada binar yang berkelebat di mata Rin saat melafadzkan kalimat terakhir tersebut. Binar yang selalu ragu kutafsir lebih selain tulus persahabatan. Walau jika boleh jujur, aku merindukan binar itu sejak dulu. Binar yang kerap terpancar saat menghabiskan waktu bersamaku.