Kembali kusesap kopi, sebelum mengetik pesan super singkat: Ya.
Malamnya, sepasang cangkir kopi menemani cengkerama kami. Hanya kopi. Tanpa penganan kecil apapun. Juga tanpa gadged serta benda elektronik lainnya.
Tadinya kupikir akan lebih harmonis jika kutambah sebatang lilin di meja sebagai penerang. Hanya saja ingatan akan pesan terakhirnya yang muram, memaksaku menepis khayal manis nan romantis yang menyelinap di angan barusan.
“Mengapa interaksi kita melulu diwarnai hujan, Bay?” tanyamu, mencoba untuk melucu.
“Karena ini memang musim hujan,” sahutku getas, enggan mendramatisir suasana.
“Sejak kapan musim menjadi begitu teratur,” senyummu.
“Sejak kau selalu mengundangnya melalui percakapan tentang hujan” getirku.
Kau terdiam. Menghela nafas.
“Kopimu agak masam,” lanjutmu usai diam yang agak redam.
“Kabarnya memang seperti itu rasa kopi asli dari perkebunan,” aku mengulang jawaban si pemberi kopi, yang bahkan hingga detik ini tak pernah mampu kupercayai kebenarannya.
“Oh, ya? Kupikir itu bukanlah jawaban yang baik, Bay, karena dari petualangan kopiku selama ini, rasa masam biasa terjadi karena ini dan ini, seperti pada kopi ini dan ini, sementara untuk kopi ini dan ini justru ini dan ini lalu begini…” celotehmu riuh mengagetkanku, karena tak menyangka pengalaman kopimu jauh melebihi pengetahuanku.