Tubuhnya berjengit menahan arus yang mencekik. Napasnya tersengal, dengan kedua tangan tak berhenti melonjak-lonjak hingga sekilas mirip pemain bambu gila yang berkutat sendirian ke sana-kemari.
Tak berhenti sampai di situ, di hadapannya kini terpampang tragedi kemanusian seperti layar tancap!
Bau amis darah, debu yang mengepul di antara desing peluru, tangis juga jerit pilu. Derap langkah serdadu bermata jalang yang angkuh mengokang senapan, semuanya berbaur dengan riuh suara tank yang menderu, terus memburu tanpa pandang bulu.
Pembantaian… Ini pembantaian! Ini bukan lagi perang…!!!
Rasva berdiri tegak laksana patung. Wajahnya guram berselimut kepedihan. Sementera cekikan di tenggorokannya perlahan mengendur, berganti dengan rasa hangat yang merambat di sekujur tubuh dengan sensasi celekat-celekit tiap kali melewati urat nadi, untuk kemudian terkumpul di pangkal lengan.
Tanpa sadar Rasva mengacungkan tangan yang masih menggenggam pena ke depan, lalu mulai menggurat-gurat di udara dengan gerakan seperti tengah menulis.
Sret! Sreset sret…!
Bayangan darah bertuliskan aksara Ulah Ngukur Baju Sasereg Awak meletik dari ujung pena dan melayang di udara, yang tak lama kemudian luruh hurufnya satu demi satu.
Setelah terjeda cukup lama, kembali Rasva memutar pergelangan tangan menggores Neangan Luang Tipapada Urang, yang juga kembali meluruh sebelum akhirnya musnah seperti menyelusup ke lantai kamar.
Rasva mengencangkan kuda-kuda kakinya, sebelum bergerak maju melancarkan tusukan abstrak mengikuti rangkaian kalimat Lamun Hayang Maju Ulah Ereun Mikir yang seperti gerakan orang nekat, dilanjutkan dengan gerak serabutan menyabet sekeliling tubuh, hingga bayangan darah Sanajan Teu Lumpat Tapi Ulah Cicing bertebaran membentuk tameng yang melindungi tubuhnya.
Berturut-turut Rasva memainkan gerakan Tong Leumpang Dina Hayang, Tong Cicing Dina Embung, Tapi Kudu Leumpang Dina Kudu Jeung Kudu Ereun Dina Ulah, hingga akhirnya tubuhnya kembali tegak dengan wajah yang masih sama guram dengan sebelumnya.