“Kita sama-sama penggila malam,” desah sang kawan, sebelum melanjutkan kembali ucapannya. “Terutama sepertiga malam yang terakhir, ketika gelap mencapai titiknya yang paling puncak dan nyeri sebelum fajar menghalaunya entah ke mana.”
“Saat itu kita memaknai sunyi dini hari sebagai hidangan yang amat memabukkan bersama kalongers yang lain, tanpa sedikitpun perasaan bersalah sebab korupsi waktu tak mungkin terjadi di luar jam kerja… Tapi tanpa kita sadari justru menjebak pada korupsi yang lebih besar… korupsi kepada Tuhan… dengan mengabaikan tujuan utama penciptan kita demi penyembahan yang hanya kepada-Nya… pada waktu kunjungan terintim yang pernah diberi-Nya kepada kita… sepertiga malam yang terakhir menjelang pagi…”
Kembali setitik panas menggantung di sudut kelopak Rasva, memaksanya menutup laptop juga kenangan tentang sang kawan -yang kini entah menyepi di mana- dan memulai kebiasaannya menulis puisi dini hari. Mungkin kali ini waktunya akan dipersingkat, sebab menjadi seorang koruptor, terutama kepada Sang Penciptanya, jelas bukan cita-cita tertinggi yang dia punya.
Baru setengah jalan Rasva menulis bait pertama, ketika dia merasa tangannya yang memegang pena bergetar hebat.
Refleks dia lemparkan pena sekuatnya. Bulu kuduknya meremang tiba-tiba, bersamaan dengan suhu dalam rumah yang mendadak terasa lebih dingin, serta kesiur angin yang riuh menderu seperti putar memutar di sekeliling rumah.
Belum lagi keterkejutan Rasva pupus, ketika dia melihat ada percik noda yang menutul di atas bait puisinya. Noktah kecil yang ngecuy dengan cepat hingga memulas sepertiga kertas, dengan warna merah yang terlihat lengket dan kental khas serupa… darah!
Ada bayangan tulisan yang menyembul di pulasan merah pekat tersebut.
mulih ka jati, mulang
ka asal
nimu luang tina burang