Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Legenda Pedang Tetesan Air Mata

21 September 2015   22:19 Diperbarui: 21 September 2015   22:19 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Tepat sekali!” tegas Zoel Z’anwar Si Pendekar Syair Berdarah-darah.

“Dengan cara apa kau ingin melunasi semuanya?! Dan apakah itu dapat menghidupkan lagi semua sanak kandangku yang terlanjur hancur lebur ini?!” seru Sam Trader penuh emosi seraya menunjuk mayat yang menggelimpang tumpang-tindih di sekitar mereka.

“Tak bisa dilunasipun tetap harus kubayar. Dan bagaimana cara aku membeli nyawa, dengan cara itu pula kujual selembar raga ini. Kau pikir, buat apa aku kemari hari ini?” tandas Zoel Z’anwar.

Sam Trader menatap Zoel Z’anwar tepat di manik mata, yang dibalas oleh Zoel Z’anwar dengan tatap yang sama persis, walau anehnya sorot mata mereka berdua tak sedikitpun menyiratkan dendam dan sakit hati. Lebih tepatnya mungkin kekaguman dan perasaan hormat kepada masing-masing seterunya.

“Harusnya kau tak menyindir cerpen cinta hasil kolaborasiku yang waktu itu,” sesal Sam Trader seraya meraba gagang pedang pokiam di pinggangnya.

“Karena akhir cerita buatanmu begitu mengenaskan. Juga penamaan Tora dan Bika sebagai karakter utama tokoh fiksimu, begitu menyinggung rasa kekopian di hatiku,” bela Zoel Z’anwar.

“Tapi bukankah kisah cinta yang baik wajib berkonflik?” serang Sam Trader tak mau kalah.

“Maaf, Sam, aku cinta damai,” kelit Zoel Z’anwar.

“Damai seperti puisi kolaborasimu yang bersalin rupa dari hujan menjadi kecupan itu…?! Begitukah refleksi cinta damai yang kau maksud…?! Yang mati-matian mengingkari sendu buah hitam kenyataan lalu menggantinya dengan ribuan jargon tentang cinta yang indah dan melenakan…?! Begitukah cinta damai yang kau maksud itu…?! Dengan pura-pura lupa bahwa usia dan jam terbang yang kau punya tak lagi serupa pemuda romantik yang baru mengenal cinta…?! Begitu…?!” ejek Sam Trader dengan berapi-api. Tangannya menggenggam batang pedang pokiamnya semakin erat. Untuk harga diri memang seringkali tak menyisakan pilihan apapun lagi selain mempertahankan yang telah terlanjur dikreasi, tak peduli bahkan jika kreasi itu kelak akan menjadi jauh lebih mengandung permenungan tingkat tinggi ketika digarap ulang dengan lebih menyayat.

“Setidaknya masih jauh lebih baik dari cerpen nyerimu itu, yang rela memberikan mata karunia Sang Maha Kuasa, hanya demi dianggap pecinta wanita terbaik abad ini…!!!” cibir Zoel Z’anwar.

Blaarrr! Pedang pokiam meletik ke depan. Namun bilah pedang Zoel Z’anwar belum juga diloloskan dari sarungnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun