Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Even Fiksi Kompasiana dan Beberapa Kesalah-pahaman tentang Fiksi

20 Juli 2015   01:50 Diperbarui: 20 Juli 2015   01:50 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kuraih tombol vote dengan gemetar takut ketahuan tidak pintar.

Kalimat ini yang ditulis oleh Kompasianer Adhieyasa Adhieyasa, dalam artikelnya yang segar saat memberi opini tentang fiksi versi pribadi.

Dan kalimat tersebut lebih terasa lagi kesegarannya jika mengingat ending artikelnya yang ‘memberi masukan’ agar pegiat fiksiana berdamai dengan kenyataan, dan mulai menulis dengan bahasa yang mudah dipahami dengan alasan bahwa tak akan berkurang kepintaran (para penulis fiksi) hanya karena menulis dengan bahasa yang sederhana. *Tillll… (bunyi sentilan…^_)

 

Sentil-menyentil Sesama Kompasianer tentang Fiksi.

Artikel tersebut langsung mengundang tawa saya usai membacanya, walaupun hingga tulisan ini digarap, saya masih belum bisa menjejakan apresiasi atas kesegarannya, dengan putaran pelan ‘cacing loading’ koneksi internet lemot yang favorit menjadi alasan.

Tapi tawa saya bukan meledek, menghujat atau berbalik menendang karena adanya perbedaan kesepahaman dengan penulisnya, melainkan tawa yang benar-benar lucu sebab Mas Adhie, menolak ‘gaya penulisan fiksi’ tersebut justru dengan tulisan yang ‘bergaya fiksi’ yang ditolaknya tadi…^_

Hanya saja tawa saya langsung berakhir ketika teringat beberapa sahabat yang gemar mengembara dari satu artikel ke lapak yang lain milik kompasianer (ngiri, deh sama kelancaran koneksi mereka…^_), yang juga memiliki kendala yang sama.

Dengan kejujuran yang memancing senyum, Mas Bambang blak-blakan berkomentar tentang mati kutunya beliau akan tulisan fiksi dan terutama sekali: Puisi. Sementara dengan kekertarikan yang berbeda, Mas Aldy justru memaksa diri untuk menaruh artikel saya di keranjang bookmark, karena katanya beliau puyeng bin ribet membacanya sekali jalan namun penasaran akan nilai yang terkandung di dalamnya *Eaaa…^_

 

Pergeseran Model dan gaya Fiksi dari Masa ke Masa.

Apa itu fiksi?

Tulisan dengan menggunakan diksi gelap?

Berindah-indah malalui rangkai kata-kata liris puitis nan romantis, yang diharapkan dapat memelintir hati hingga lebih terkecap rasa seni? Atau apa?

Alih-alih menjawabnya dengan begitu banyak teori tentang seni dan puisi, saya justru memilih untuk curhat.

Kenapa curhat? Karena saya bukan penikmat teori. Karena saya masih kukuh berpendapat bahwa teori secanggih dan sebanyak apapun, tetap tak akan dapat menggambarkan pedasnya cabai kecuali jika kita menggigitnya secara langsung.

Dan curhat bukankah peradaban paling mutakhir yang lebih mampu untuk kita menuangkan segala yang ada di pikiran? Tanpa butuh direcoki dengan segala macam aturan baku tentang cara terbaik mendefinisikan dan atau menjelaskan tentang sesuatu, hanya demi terpeliharanya nilai emosi juga rasa yang ada di dalamnya? *Asyiiikkk…^_

Dalam bahasa curhat saya yang kebetulan masih berbentuk runut ini pulalah saya ingin mengatakan, bahwa puisi, telah banyak mengalami pergeseran bentuk yang paling brutal.

Buku puisi terakhir yang saya beli waktu masih sekolah adalah ‘Kubur Penyair’. Saya lupa pengarangnya siapa. Juga alpa dimanakah buku ‘ajaib’ tersebut kini. Dan saya menyebutnya ajaib, mengingat dari begitu banyak halaman di dalamnya, saya hanya teringat satu kata saja, yaitu: Lanskap, yang agaknya menjadi kata kunci yang kerap digunakan secara beulang oleh penulisnya.

Itupun cuma sekedar mengingatnya, tanpa pernah benar-benar memahami isi juga makna kata yang ingin disematkan penyair dalam konteks bait puisinya. Mengingatkan saya kepada “O Amuk Kapak”-nya Sutardji Kalzoem Bahri yang –menurut saya peribadi- lebih cocok disebut mantra atau ceracau orang gila ketimbang dinamakan puisi.

Dan ketika keluhan tersebut disampaikan secara langsung kepada beliau dalam seminar kampus dulu, tentang apa pentingnya berpuisi aneh-aneh dan panjang-panjang, langsung beliau jawab dengan gaya sengaknya yang khas, dengan kalimat yang menendang balik, “Sama seperti apa fungsinya mobil mewah untuk mahasiswa seperti kalian, yang bahkan mencicipi mobil milik pribadi yang biasapun belum pernah.” *Ngek-ngok…^_

Tapi Sutardji tak salah. Karena fungsi serta nilai rasa dari puisi waktu pembuatan era Sutardji memang seperti itu. Ekslusif dan berfilsuf-filsuf. Seakan puisi adalah harta karun jiwa yang hanya akan bisa ditemukan oleh mereka yang menjalani laku penyelaman makna kata, mengingatkan kita kepada Sokrates lengkap dengan imajinasi tentang sosok itu yang gemar mondar-mandir di kamar sambil memegangi hidung atu jidat tatkala merenung, untuk kemudian berhenti demi menuliskan beberapa bait kata singkat yang patah-patah, lalu kembali mengulangi siklus mondar-mandir yang ‘gak puguh lagu’ tersebut.

Hanya saja tak semua karya Sutardji serupa sihir yang lahir dari alam gelap nan penuh satir. Beberapa diantara cukup menggairahkan. Cukup singkat, padat dan sederhana, dengan aura mistik yang masih kental tersisa seperti kutipan di bawah ini.

 

Satu kilo daging sapi darahnya menetes di atas kanvas

Kanvas itu bertuliskan: ha-ha

 

Kenapa harus darah, dan bukannya symbol luka yang lainnya? Kenapa mesti sapi, dan bukannya semut minggring atau ular londot, misalnya? Dan –terutama sekali- kenapa butuh ‘ha-ha’ untuk bersamding dengan darah? Demi kekontrasankah? Atau justru darah sebagai simbol kepedihan korban, wajib menetes di atas tawa congkak si penindas?

Dan entah riuh apa lagi yang tak berhenti bertanya-jawab dalam benak saya, dengan amat manisnya mengingat realita yang ada memang terus saja menggambarkan kebenaran puisi tersebut. Tentang si jahat yang menindas si baik nan lemah, setelah sepelumnya berpura-pura sebagai sesuatu yang baik dan halal (daging sapi), yang pada akhirnya tetap saja memberikan tragedi (tetesan darah).

Tapi itu tentu saja penafsiran pribadi, yang menggunakan skema cocoklogi serta teori konspirasi yang amat gemar kita paksakan kesimpulannya, seakan semua yang tengah terjadi di Indonesia adalah rekayasa dan hasil mufakat segelintir elit, tanpa pernah peduli latar kejadian pendukungnya. Dan penafsiran itu akan jadi amat berbeda ketika dibaca oleh anak sekolah, misalnya, atau pustakawan, ahli IT dan entah profesi apa lagi, dengan ‘kesadaran berlapis’ yang bertingkat-tingkat sesuai dengan latar belakang social-pendidikan masing-masing.

Dizaman yang masih berdekatan dengan Sutardji pula akan kita temui puisi yang tidak gelap dan njlimet, yang justru amat lucu dalam kesederhanaannya. Seperti punya Jokpin alias Joko Pinurbo, dengan puisi di bawah kibaran sarung-nya yang amat dan amat dan amat sederhana, tentang celana, yang justru berkibar hingga ke Negara luar. Atau puisinya tentang paskah yang saya pikir agak kurang ajar terhadap agama, namun tetap sangat mudah untuk dicerna.

 

Celana Ibu

Maria sangat sedih menyaksikan anaknya
mati di kayu salib tanpa celana
dan hanya berbalutkan sobekan jubah
yang berlumuran darah.

Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit
dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang
ke kubur anaknya itu, membawakan celana
yang dijahitnya sendiri dan meminta
Yesus untuk mencobanya.

“Paskah?” tanya Maria.
“Pas sekali, Bu,” jawab Yesus gembira.

Mengenakan celana buatan ibunya,
Yesus naik ke surga.

(2004)

Juga karya Sapardi Djoko Damono Si Begawan Kata, dalam petikan cerpen ‘Tiga Cerita Ringkas’ di Harian Jawa Post yang ini.

 

“Tetapi gerimis selalu jatuh pelan-pelan, diam-diam, tidak memberi tahu, dan dengan licik membasahi lantai.”

 

Pendekatan Neno Warisman untuk Karya Fiksi buatan Kompasianers.

Bagaimana dengan puisi serta tulisan fiksi yang dibuat oleh Kompasianer?

Dalam hal ini saya hanya berani meminjam pernyataan Bunda Neno Warisman tentang berpuisi bagi kalangan terkini, sebab jika berdasarkan teori, akan langsung terlihat bahwa buatan Kompasianers –termasuk saya sendiri- BUKAN SEBUAH PUISI!

Puisi di era yang masih asli saya pahami sebagai cara mendongeng, dimana pembaca seakan dibawa lari ke sebuah bangunan imajinasi buatan penyair, yang menceritakan tentang sesuatu, tanpa adanya keterlibatan pembaca dan penulis di dalamnya (lihat kembali puisi paskah Jokpin).

Tak ada sudut pandang orang pertama, juga tak menggunakan kata ganti orang ketiga.

Hanya dongeng. Hanya ‘jalan gelap’ menuju sesuatu secara samar juga buram, yang memaksa pembacanya untuk amat tertatih menapaki pesan juga isi sebenarnya yang ingin disampaikan oleh penyair, setelah sebelumnya pembaca terlebih dahulu tersesat di jalan diksi (pilihan kata), terjungkal di jembatan metafora (analogi/perumpamaan), serta tersaruk-saruk di tikungan majasnya.

Hingga akhirnya Neno warisman datang, dan menawarkan definisi baru tentang seni berindah-indah kata, yang kemudian beliau namai sebagai: Tuturan kata.

Kenapa tuturan kata? Karena itu bukanlah puisi. Karena itu memang hanya cara kita menuturkan sesuatu dengan gaya yang mirip puisi.

Menurut penyair gaek Taufik Ismail, dalam pengantar buku Izinkan Aku Bertutur buatan artis yang memiliki nama asli Titi Widoretno Warisman tersebut, "Cara bertuturnya panjang-panjang, karena dia suka bicara banyak. Tapi rasa puitisnya ada dan ritmenya terpelihara,"

Mari kita intip sekilas buatan DP Anggi II, salah satu alumni kompasianer yang berhasil menerbitkan buku puisi ‘raudah-raudah sajadah’ berikut ini.

 

"Tidak saling bicara bukan berarti tak peduli

Bagiku suara akan lenyap tanpa permisi

Sementara, doa adalah bahasa hati

Ia akan terbang ke langit tinggi

Lalu, ia membebani awan, ditambah lagi tetes-tetes air mata sepertiga malam

Awan semakin kelam, lalu menjadi rindu
; turun di hatiku sebagai hujan...."

Green Hill, 10/04/2015

 

Atu juga puisi buatan kompasianer lainnya yang berjudul 'Karena Kasihnya Tak Berbilang', yang pernah diposting di Kompasiana pada link 'yang ini', yang, eh… ternyata punya saya sendiri…*Terkekeh-kekeh

 

kami tenggelam
dalam lautan dosa yang sama
berusaha terapung
walau buih nikmat dosa
terus memercik
walau selalu ada buih baru
yang memercik lebih deras

namun kami tetap terapung
walau ol
...

Mirip puisi? Tidak. Karena di sana masih terlihat jelas point of view-nya. Bukan tulisan yang mendongeng sendiri tanpa perlu campur tangan penulis dan juga pembacanya. Juga petikan puisi ‘Masih saja tentang Hujan’ yang lahir buah konsultasi teman wanita jarak jauh atas kisah cintanya berikut ini, yang meminjam sedikit gaya liris puitisnya Sutardji, yang pernah menjadi HL di link ‘yang ini’.

 

ini hujan, ucapku

seraya memetik sebutir hujan

yang sebelumnya terperangkap di daun kenangan

yang setelah kubingkai dengan koran

memukaumu dengan hujan yang paling kilau

...

 

Tapi miripkah dengan definisi Si Bunda yang katanya cuma ‘tuturan kata’? Lebih mendekati. Karena memang masih kental dengan sifat bertutur alias bercerita. Penulis yang jadi tukang obat, dengan pembacanya yang dipaksa untuk ‘hanya berjalan’ sesuai dengan ‘titip pesan’ yang ingin disampaikan penulis.

Bagaimana dengan diksinya? Saya pikir pilihan kata yang digunakan amat biasa. Saking biasanya hingga seringkali kita temui dalam perbincangan sehari-hari.

Lalu, kenapa masih ada kompasianer yang merasa agak kesulitan memaknainya?

Saya jadi teingat fragmen yang ada di serial buku ‘Kambing Jantan’-nya Raditya Dika, yang bertanya kenapa ada orang yang menyukai makanan Kupang khas Kota Malang padahal rasanya menjijikan. Kenapa ada yang menggilai durian sementara yang lainnya mabuk hanya mencium baunya. Juga pertanyaan pribadi tentang kenapa saya sukar untuk membaca artikel tentang bola dan teknologi, padahal artikelnya bagus, menarik, menawan serta entah nilai jempol apa lagi yang harus diberikan kepada pembuatnya.

Selera mungkin pemicu utamanya. Juga kecenderungan cara kita memandang sesuatu, yang biasanya tak pernah obyektif, yang selalu dilandasi dengan persepsi yang kita miliki sebelumnya tentang sesuatu itu. Jadi, sebagus apapun artikel tentang bola, tetap saja membuat saya pusing membacanya, karena memang persepsi awal yang ada dalam diri saya tentang bola adalah begini juga begitu. Dan hal itulah yang kemungkinan besar terjadi pada rekan Kompasianers yang kurang menyukai tulisan bergenre puisi, sebagus atau semudah apapun pilihan kata yang digunakan di dalamnya. Karena memang bukan itu masalah utamanya.

Perlukah bahasa fiksi dirubah, hanya demi tidak terkesan ‘sok pintar’ dan berbeda dengan artikel yang lainnya? Menurut pendapat saya pribadi tidak perlu, karena di situlah letak keberagaman dari Kompasianers.

Saya tidak bisa membayangkan, jika tulisan fiksi dibuat menggunakan bahasa politik yang cenderung lurus serta kaku, atau ulasan teknologi lengkap dengan istilah canggihnya, misalnya. Lalu bersamaan dengan itu kita paksa para pakar penulisan eksakta dan praktis seperti matematika dan kedokteran, menuliskan penjabaran rumus serta tahap-tahap bedah tubuh menggunakan bahasa fiksi, juga penulis kuliner menyajikan rangkaian resep plus cara mempraktekannya dengan gaya politik yang tajam dan actual, “Si garam telah terbukti digunakan sebesar satu sendok teh ke dalam minyak mendidih tanpa korupsi sedikitpun oleh koki pelaku di dapur TKP.”

Mungkin kita hanya akan bilang, “Kiamat udeh makin dekat aje, Bro…” pasca membacanya…^_

 

Benarkah Artikel Fiksi di Rubrik Fiksiana Selalu Menadi Anak Tiri?

Ya. Benarkah?

Tergantung parameter apa yang kita gunakan, juga tergantung rubrik kanal yang dipakai untuk membandingkannya.

Jika jumlah buku yang berhasil diterbitkan dari seluruh kanal yang ada sebagai perbandingannya, saya optimis Artikel fiksi di rubrik fiksiana bukanlah anak tiri. Mungkin anak bungsu, atau setidaknya anak tengah, walau memang agak sulit untuk menjadi anak sulung…^_

Jika jumlah pembaca sebagai tolok ukurnya, artikel fiksi memang terkesan bayi stagnan. Apalagi jika dibenturkan dengan kanal favorit seperti politik, misalnya. Jelas langit dan bumi. Tapi bagaimana jika dijejerkan dengan kanal yang sekelas? Kanal hijau misalnya, atau juga artikel-artikel numpang lewat dari kanal besar yang gagal masuk kamar ‘Highlight’ atawa ‘pilihan editor’.

Artikel fiksi terakhir saya yang diposting dalam Bahasa Jawa, yang tentu saja cuma numpang lewat karena mungkin Bang Admin yang bertugas kurang memahami bahasa daerah, walau bisa juga karena isinya yang memang belum bermutu. Tapi jika dilihat dari klik viewnya cukup segar. Sekitar 130-an pembaca, yang bahkan jika dibandingkan dengan artikel politik yang sama numpang lewatnyapun tetap jauh lebih besar, terutama yang benar-benar lewat dan hanya menghasilkan klik view belasan orang atau paling mentok 40-an.

Beberapa dari artikel fiksi di keranjang sayapun ada yang mencapai nyaris 1000-an pembaca. Mungkin benar-benar terkesan ‘anak tiri banget’ jika bergulat dengan artikel larisnya Pakde Kartono atau Mbak Fey. Tapi jika dibandingkan dengan artikel dari selain mereka?

Fiksiana Community jelas memiliki andil yang cukup besar dalam membangun-tidurkan para penikmat fiksi di Kompasiana, dengan serbuan evennya yang banyak dan berkala, yang semoga terus bisa diselenggarakan dengan periode waktu antar even yang lebih pendek lagi. Agar terus ada semangat untuk meramaikan. Untuk mengkreatifkan dengan tema yang berbeda, agar selalu ada perasaan tertantang untuk membuat sesuatu lalu menyertakannya sebagai ajang uji nyali dan rasa malu saat belum berhasil memenangkan tantangannya.

Dan dari even-even yang digelar bertahap oleh Fiksiana Communitylah saya berharap, agar Pihak Manajemen Kompasiana juga membuat even serupa, yang dikhususkan bagi kanal-kanal yang selama ini kurang hangat keberadaannya. Semata demi tetap terjaganya kekayaan ragam kanal yang ada di Kompasiana. Toh hadiah utamanya tak perlu mahal-mahal dan radikal seperti ‘kencan semalam di pulau anu bareng artis panas papan penggilesan’, misalnya…^_ Cukup dengan beberapa hadiah kecil (syukur-syukur besar…^_) plus sekeping doa bersama dari seluruh kompasianers agar pemenangnya hidup bahagia sampai akhir masa, diampuni dosa serta di maafkan kesalahannya, bereslah sudah. Bagaimana nih, Bang Admin…? ^_

Salam maaf jika ada khilaf kata, salam hangat persahabatan…^_

 

Secangkir Kopi Tentang Fiksi, Kompasiana, Juli-015.

(Buat Desol, Rahab Ganendra, Conni Aruan dan seluruh kru Fiksiana Community yang saat ini tengah asyik mencari kutu di karya peserta lomba, selamat menguliti artikel sampai bosan. Semoga yang terbaiklah yang menang, aamiin… Dan satu lagi, jangan lupa mandi, biar bisa jadi lebih mood…^_)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun