Puisi di era yang masih asli saya pahami sebagai cara mendongeng, dimana pembaca seakan dibawa lari ke sebuah bangunan imajinasi buatan penyair, yang menceritakan tentang sesuatu, tanpa adanya keterlibatan pembaca dan penulis di dalamnya (lihat kembali puisi paskah Jokpin).
Tak ada sudut pandang orang pertama, juga tak menggunakan kata ganti orang ketiga.
Hanya dongeng. Hanya ‘jalan gelap’ menuju sesuatu secara samar juga buram, yang memaksa pembacanya untuk amat tertatih menapaki pesan juga isi sebenarnya yang ingin disampaikan oleh penyair, setelah sebelumnya pembaca terlebih dahulu tersesat di jalan diksi (pilihan kata), terjungkal di jembatan metafora (analogi/perumpamaan), serta tersaruk-saruk di tikungan majasnya.
Hingga akhirnya Neno warisman datang, dan menawarkan definisi baru tentang seni berindah-indah kata, yang kemudian beliau namai sebagai: Tuturan kata.
Kenapa tuturan kata? Karena itu bukanlah puisi. Karena itu memang hanya cara kita menuturkan sesuatu dengan gaya yang mirip puisi.
Menurut penyair gaek Taufik Ismail, dalam pengantar buku Izinkan Aku Bertutur buatan artis yang memiliki nama asli Titi Widoretno Warisman tersebut, "Cara bertuturnya panjang-panjang, karena dia suka bicara banyak. Tapi rasa puitisnya ada dan ritmenya terpelihara,"
Mari kita intip sekilas buatan DP Anggi II, salah satu alumni kompasianer yang berhasil menerbitkan buku puisi ‘raudah-raudah sajadah’ berikut ini.
Â
"Tidak saling bicara bukan berarti tak peduli
Bagiku suara akan lenyap tanpa permisi
Sementara, doa adalah bahasa hati