Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kebutuhan akan Uang Membuat Saya Meninggalkan Jabatan Terhormat

12 Juli 2015   02:37 Diperbarui: 12 Juli 2015   02:37 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

harusnya bahagia usah pernah dicerna

     atau dibagi

 

          tapi aku cuma si senga’

          yang rapuh, yang terus saja berlari tanpa ingin usai

 

                               yang hanya dibentuk oleh waktu

                                          yang kini, terbelenggu...

(Belenggu Angandalam Di Bawah Kibaran Dosa)

 

Profesi yang aneh.

Seringkali saya merasa bahwa manusia memang tidak akan pernah bisa lari dari masa lalunya. Lengkap dengan segala macam belenggu dan telikungan keras yang membuat dia mau tidak mau mengepel lantai yang bertahun-tahun lampau pernah dikencinginya saat masih belia, atau sambil menggerutu tapi terus saja coba membangun kembali –atau setidaknya memperbaiki- ‘terowongan besar’ dari masa lalunya yang kebetulan runtuh, dengan atau tanpa kesengajaan.

Dan saat dia merasa tidak lagi punya daya untuk melakukan semua, tanpa segan ditariknya panah yang tengah meluncur hingga terpaksa bergerak mundur, yang seketika memposisikan anak-anaknya cuma sebagai perpanjangan tangan bagi banyak mimpi serta dunia utopia yang dulu tak pernah bisa dicapainya.

Pada ritual itulah saya terdampar. Menjadi guru, setelah bertahun-tahun lamanya saya habiskan waktu sebagai murid yang menyusahkan semasa sekolah. Dan segeralah hari pembalasan yang dijanjikan itu terjadi pada saya: Bahkan jauh-jauh hari sebelum saya mati!

Saya masih ingat saat harus rutin berlarian menangkapi murid yang enggan belajar, atau menemukan mereka di kolong meja, di balik pintu, juga di belakang lemari buku, dan mendudukkan mereka di tempat belajar yang semestinya. Bahkan saya juga pernah diludahi oleh seorang murid yang paling kasar dan berwajah angker! Sementara memanggil wali siswa tentu saja kemudian menjadi rutinitas yang biasa bagi saya.

Tapi siapa sangka menjadi guru pada akhirnya memang terasa amat menyenangkan? Terutama saat saya telah terlepas dari masa-masa ‘penyiksaan dan penebusan dosa’ dalam periode awal kepengajaran saya.

Saya yakin tak semua memiliki pendapat yang sama. Namun saya pribadi sangat tak ingin menukar pengalaman ini dengan apapun. Terutama saat setiap hari saya melihat ada begitu banyak mata polos dan bercahaya yang begitu mengharap untuk diberi pengetahuan yang berguna, yang walaupun sekedar ketrampilan membaca atau menghitung angka-angka, namun tetap membuat mereka amat bergembira seakan-akan dengan keahlian tersebut mereka langsung mampu untuk menjebol gudang uang negara atau menjadi lebih terkenal dari Lady Gaga.

Sering saya terkagum-kagum dan menjadi tidak habis pikir sendiri saat mengetahui, betapa banyak yang mampu diperbuat oleh sosok-sosok kecil ini: Hanya dengan tersenyum! Atau saat wajah-wajah lugu ini berubah sumringah tatkala nilai terbaik telah tertera di kertas mereka, yang menjadikan mereka spontan bertingkah seolah-olah baru saja berhasil menaklukkan jagad raya!

Tak ketinggalan pula momen indah saat mereka –entah mengapa- duduk di pangkuan kiri dan kanan saya sambil memegang-megang rambut saya yang kala itu masih gondrong sebahu, mengingatkan saya pada ‘Si Eksentrik’ yang acapkali sambil bercanda memanggil saya “Emaaa...k...!” saat kami masih aktif bertelepon ria masa kuliah dulu.

Juga ketika begitu banyaknya testimonial yang disampaikan wali siswa, yang begitu bahagia karena merasa telah mengambil keputusan terbaik untuk ‘menitipkan’ pendidikan buah hati mereka, yang memang terbukti mampu mengantarkan si kecil kepada keadaan from zero to hero. Setidaknya menjadi hero di keluarga mereka, atau di lingkungan serta pada jenjang sekolah lanjutan bocah kesayangan tersebut kelak.

Dan semua itu terlalu berharga buat saya, yang tak akan pernah mau untuk saya tukar dengan uang ataupun benda bernilai lainnya.

Tapi uang memang seringkali mampu untuk menyelenehkan segalanya. Begitu pula hidup saya, yang terpaksa harus menjadi tak biasa: Cuma gara-gara uang!

Uang... Uang...! Uang!!! Alangkah besarnya pengaruh ‘fosil penukar’ tersebut. Bahkan terhadap seorang guru seperti saya, yang telah begitu terbiasa menjalani hidup dalam kesederhanaan, sebuah penghalusan kata dari keadaan yang bernama: Miskin.

Uang bukanlah segalanya, itu tentu pendapat para ahli philosofie tingkat tinggi, yang jika kita iseng dan rajin menelusuri riwayat mereka, niscaya akan kita dapati bahwa mereka memang tak pernah benar-benar kekurangan benda tersebut dalam hidupnya.

Namun dalam pendapat paling profesional yang saya punya, saya paham bahwa uang –bagaimanapun juga- memang mampu untuk memudahkan segalanya. Walau saya masih suka mendengar ada saja orang yang TETAP MAMPU menciptakan karya besar, setelah bertahun-tahun lamanya melakukan penelitian mandiri dengan dana yang bersumber dari sebagian biaya hidupnya sendiri, yang memang sudah amat minim itu.

Tapi saya masih amat yakin bahwa, jika misalnya orang tersebut memiliki uang, tentu karya yang diciptakan akan jauh lebih besar dan mendunia, atau minimal akan menjadi lebih cepat dalam proses dan terutama sekali waktunya. Adakah yang berminat untuk menyangkalnya...?!

Kebutuhan akan uang itulah yang membuat saya dengan amat terpaksa  ‘mengusir diri sendiri’. Meninggalkan jabatan terhormat saya sebagai guru dengan segala pendapatan immaterial-nya yang menakjubkan, dan memilih untuk hanya menjadi sekedar pengelola.

Watak sejarah kembali datang, berulang, bahkan mungkin telah bermetamorfosa begitu rupa hingga menjadi sebuah pola yang secara abadi terus saja ada dan terjadi. Kembali saya tahu harus menghubungi ‘teman tim yang tepat’ mana guna dimintai bantuan mengisi posisi saya sebelumnya. Tentu dengan salary amat longgar yang kami sepakati karena teman seringkali tetap saja teman. Walau setelahnya selalu ada saja kendala yang singgah.

Domisili terlalu jauh yang paling banyak terjadi, yang biasanya berlanjut dengan kian ramainya kesibukan pribadi yang menuntut alokasi waktu yang lebih ‘bijak’. Namun dalam waktu yang tak lama hal-hal tersebut telah sanggup teratasi, melalui jejaring ‘teman tim’ baru dari berbagai kampus serta rekomendasi khusus dari orang-orang lama, dengan kuantitas dan kualitas yang saat itu mungkin cukup untuk mengelola sebuah kampus mini.

Saat itulah saya merasa perlu untuk memiliki komputer. Sebuah benda berdenging yang pernah begitu asing dalam dunia saya sebelumnya.

Lagi-lagi saya paham harus ke siapa bicara, hingga tak membutuhkan waktu lama untuk benda asing tersebut ngejogrok di tempat saya, tanpa saya perlu mengeluarkan sepeserpun rupiah dari saku, yang saat itu memang tengah bolong di sana-sini.

Cukup dengan sedikit percakapan dan beberapa deal, maka bereslah semua. Dan saya tentu saja amat berterima kasih pada Mulan, karena dari Mulanlah saya dapat pengetahuan itu. Seni berbicara, seni menyiasati dan menyikapi kebutuhan diri, dan terutama sekali seni untuk dapat selalu tak minder atau ragu ketika ingin menyampaikan sesuatu yang hendak dituju, sesulit dan semustahil apapun itu!

Tapi setelah komputer saya masih perlu yang lainnya lagi untuk berkarya, atau setidaknya membuat dan menghasilkan sesuatu. Dan berbeda dengan jawaban lucu mahasiswa muda dari Jogja pemenang lomba membuat film kartun pada sebuah talkshow di  TV Swasta saat ditanya apa lagi selain komputer yang dia butuhkan untuk membuat karya, saya tak menjawab: Meja komputer. Karena memang saya punya jawaban yang lebih sederhana dan lebih memalukan lagi, yaitu: Mengoperasikannya! Karena saya memang tidak bisa menggunakan komputer. Bahkan buta sama sekali tentang benda modern tersebut.

Tahukah kau bagaimana cara saya belajar komputer, hanya dengan dua kali melihat? Sangat aneh! Dan saya berharap tak ada lagi yang mengalaminya selain saya.

Saya jelas tidak termasuk golongan si cerdas atau mereka-mereka yang memiliki daya ingat super kuat. Hanya saja ada beberapa alasan yang membuat saya enggan untuk belajar di lembaga formal, atau mengundang profesional di bidang tersebut untuk memberikan In House Training kepada saya.

Tak punya uang tentu salah satu alasan terkuatnya, yang kian diperketat dengan perasaan malu karena di usia yang sudah bau tanah masih saja belum genah dan bahkan nol sama sekali, atau tak cukup waktu karena dalam hitungan tertentu saya sudah harus membuat ini dan itu yang dibutuhkan, serta alasan-alasan pemberat lainnya yang membuat saya terpaksa datang ke teman lama, cuma untuk minta diajari bagaimana cara tercepat untuk bisa mengetik huruf dan menaruh gambar.

Dan setelah dua kali pertemuan yang saya tidak yakin apakah mencapai setengah jam, dimulailah masa petualangan saya pada mesin berdenging tersebut. Petualangan yang seringkali penuh kebingungan tanpa tahu bentuk dan fungsi dari segala macam shortcut, toolbar atau bahkan file folder, selain hanya mengandalkan ingatan tentang letak tangan teman tersebut waktu meng-klik cursor yang kira-kira di deret tertentu sebelah atas layar komputer, dan atau sebagian kecil di sudut bawahnya.

Untuk gambar, tentu saja program paint adalah yang paling mudah! Itupun jelas bukan mudah bagi saya mengingat betapa ribetnya memperbaiki gambar yang warnanya terlanjur saya klik tanpa rem kaki dan sebagainya, yang harusnya dengan undo tentu selesailah masalah itu. Hanya saja saya lebih ingat ‘onde mande’ ketimbang undo atau redo.

Tak berselang lama komputer telah menjadi seperti tangan bagi saya. Walau mungkin cuma jempol atau kelingking saja mengingat saya hanya mampu memanfaatkan word dan paint. Agaknya tekanan kebutuhan untuk mampu sesegera mungkin mempergunakannya, serta dorongan keinginan untuk tidak berlama-lama tertinggal jauh dari teman, menjadi semacam perpaduan metode yang hasilnya cukup mencengangkan. Setidaknya mencengangkan buat saya sendiri, karena setelah itu dimulailah era baru saya sebagai dalang, dengan layar komputer sebagai panggungnya.

Tinta Kepedihan adalah buku pertama saya yang terbit dan beredar dengan bantuan teman kampus dan teman SMU. Berbentuk kumpulan puisi, dengan tag kecil: ‘Ketika Cinta Tak Lagi sekedar Peluk dan Cium’ yang cukup menggelitik dan menggoda pada masanya.

Seringkali setelahnya saya merasa malu sendiri mengingat betapa sarkas dan blak-blakannya tulisan saya dalam buku itu, yang dengan sangat sopan ditolak oleh teman yang berpenampilan agamis –walau saya merasa tak ada secuilpun kata-kata tak senonoh di dalamnya- sementara teman yang lain justru menganggapnya sebagai puisi-puisi yang sarat religi. Halaaahhh...!

Tak lama setelahnya, saya kembali menelurkan beberapa buku. Kali ini seri pendidikan. Kalau tidak salah jumlahnya mendekati 50 jenis, membuat saya cukup sukses menebar foto narsis di cover belakang, pada ribuan orang yang telah membeli dan mempergunakannya setiap hari sebagai bahan ajar, yang tidak hanya pada siswa saya mengingat beberapa lembaga pendidikan yang lainpun diam-diam memiliki dan menjadikannya sebagai buku panduan.

Dan tahukah kau, apa saja yang bisa saya lakukan saat mampu mengoperasikan komputer, walau cuma dengan dua program dasar yang amat sederhana? Nyaris segalanya! Sebuah jawaban yang terkesan begitu provokatif  dan amat menyebalkan. Namun memang itulah jawaban terjujur yang saya punya.

Pembuatan logo, gambar, dan iklan yang lazimnya perlu program bantu adobe atau minimal corel, tetap saja saya memakai word. Bahkan laporan pendidikan, cashflow dan beberapa jenis tulisan yang harusnya menggunakan excel, tetap saja saya memakai word. Menampilkan foto kegiatanpun saya tetap menggunakan word.

Sempurnakah hasilnya, Bay? “Ouwh, tidak bisaaa...!” ucap Sule mem-blocking jawaban saya, seperti yang biasa ia lakukan terhadap teman-teman wayangnya di OVJ. Tapi yang jelas, dengan komputer plus dua program ‘mainan bocah’ tersebut, saya ternyata cukup berhasil mengembangkan usaha di bidang pendidikan, yang nyata-nyata memang hanya modal hati dan seketip mimpi, menjadi sebuah institusi yang paling tangguh dan disegani di tingkat lokal, dengan dua sekolah formal yang saya miliki, plus beberapa Lembaga Kursus, usaha sembako, kantin dan gerai alat tulis kantor serta usaha Pengelolaan Dana Masyarakat dengan perputaran uang yang tidak begitu berjarak dari angka 500 juta rupiah, yang seketika merubah saya dari seorang BOCAH BESAR yang berani-beraninya menerbitkan buku puisi tanpa malu, setelah sebelumnya ‘ditolak dengan sangat hormat dan sopan’ oleh keluarga ‘Direktur sebuah Bank Pelat Merah’ karena nekat meminta Mulan untuk menjadi istri dengan alasan ‘cuma mahasiswa muda’ dan ’tak pantas menikah ala koboi’, menjadi seorang anak muda yang disegani di wilayah domisili saya.

Siapa yang tidak kenal Bay pada saat itu...?!

Kalau hanya siswa kecil hingga gadis muda yang entah kenapa selalu mencium tangan setiap bertemu di lokasi manapun mungkin sudah biasa bagi saya, walau untuk yang terakhir dengan amat terpaksa saya buat penolakannya.

Usia yang tak terpaut jauh memicu kekhawatiran saya akan potensi jebakan affair yang mungkin timbul dan mengotori ketakdziman dari ritual cium tangan tersebut.

Bisa jadi saya yang mendapat getar-getar itu dari mereka, atau mungkin juga merekalah yang tercipret debar-debar tersebut dari saya. Karena bagaimanapun juga, saya hanya seorang anak muda biasa jika soal urusan rasa. Hanya seorang anak muda biasa, yang saat itu belum lama melewati usia dua puluhan.

Hanya saja kerikuhan tetap saja menimbun saya setiap kali ‘petinggi lokal’ di distrik yang menjadi tempat bisnis, selalu menyapa saya dengan sebutan ‘Pak...’ saat bersua, yang menjadikan saya seolah-olah telah amat tua bangka dengan seketika mengingat usia para petinggi tersebut yang sering kali mendekati tiga kali umur saya sendiri, yang setelah berkali-kali saya protes dengan jengah, tetap saja mereka memanggil dengan sebutan yang sama, yang juga tetap saya terima dengan hati gerah dan perasaan ‘tua renta’ yang bertambah-tambah.

Bagaimanakah cara saya melakukannya? Akan saya coba bahas dalam tulisan berikutnya, karena saat ini saya tengah memikirkan dengan amat serius, bahwa dengan segala situasi dan interaksi terhadap semua teman yang pernah saya kenal, apakah saya termasuk dalam kelompok orang yang suka memanfaatkan mereka...? Menjadi Si Matre yang gemar comot sana ambil sini sesuai dengan keinginan dan atau kebutuhan saya sendiri...? Atau justru itulah semua fungsi dari teman. Saling berbagi, dan bukannya memiliki. Saling memberi, dan bukannya menyerakahi ataupun mengangkangi serta mengkhianati. Tukar guling. Mungkin dengan kasur atau sekedar sapu lidi. Walau sering juga tanpa bantal guling sama sekali! Namun telah sepadankah segala yang mereka lakukan untuk saya, dengan semua yang saya perbuat untuk mereka...? Benar-benar sebuah pemikiran yang rumit dan menggangu nurani, yang seringkali tanpa saya sadari betapa inginnya saya agar Mulan ada di dekat saya. Karena saya amat yakin bahwa Mulan pastilah tahu jawaban terbaik dari semua. Atau setidaknya saya dapat sekedar menyandarkan kepala saya yang penuh ini ke dalam dada Mulan, dan berjanji untuk tetap, terus serta selalu saling menguatkan... seperti dulu.

Dan kehidupan yang semakin kompleks dan rumit yang saya jalani setelah masa-masa ini, seringkali begitu saja menerbitkan pertanyaan dalam benak saya.

Tahukah Mulan betapa saya begitu sering membutuhkannya, yang tidak sekedar saat saya tersesat dalam bisnis dan pergaulan sosial saja, melainkan juga dalam seluruh detak kehidupan saya...?!

Dan tahukah Mulan, bahwa saya terus saja berteriak tanpa kata dan suara, bahwa saya tak pernah segan untuk menukar semua yang telah saya punya itu, cuma demi keberadaan dia di samping saya, selamanya...?!

Sebuah pertanyaan yang anehnya tak pernah saya kemukakan pada Mulan. Pun saat berkali-kali Mulan datang untuk menolong ini dan itu yang saya minta. Sebuah pertanyaan, yang saya tahu tak akan pernah mendapatkan jawaban. Karena seringkali jawaban memang tak pernah mampu untuk menjawab. Seperti pertanyaan yang selalu saja melahirkan pertanyaan-pertanyaan baru yang lainnya, yang sama pelik dan rumitnya dengan hidup itu sendiri.

 

setelah pertarungan yang panjang

sebuah layar kututup lagi

 

Dan gerimis malam ini, kembali menyisakan hanya sepi...

(Belenggu Angandalam Di Bawah Kibaran Dosa)

 

#

Pesan moral dalam cerita ini adalah, tak peduli siapapun kita serta apapun latar belakang keluarga, sosial, keuangan serta pendidikan yang kita miliki, jangan pernah berhenti untuk bermimpi dan terus berusaha meraihnya.

Makna keberuntungan yang selalu saya temui dalam setiap kesempatan hidup di dunia yang penuh bayang-bayang ini,  hanyalah sekedar BERTEMUNYA ‘kesiapan’ yang terus kita asah dan kumpulkan dari setiap setiap ajang pelatihan termahal yang pernah diberikan hidup kepada kita, dengan ‘kesempatan’. Sementara bakat dan pendidikan, tak lebih… hanya sekedar kumpulan kegigihan menaklukkan hidup yang memang acapkali terkesan amat tak adil. Tentu saja setelah sebelumnya kita terlebih dahulu menaklukkan diri sendiri.

Bagaimana jika kesempatan tak pernah singgah sementara kesiapan telah habis-habisan kita latih dan pelajari? Ya sudah kita buat saja kesempatan sendiri. Toh memang ada cukup banyak jalan yang bisa menuntun kita menuju Roma. Atau jika dirasa terlalu jauh, tinggal berputar sedikit menuju Mekah atau mampir sejenak ke desa nenekmu, misalnya… dengan tetap berkarya, tentu saja!

Salam hangat persahabatan, salam dunia maya…^_

 

Secangkir Kopi Tentang Profesi, "Dunia Aneh Si Bayangan" bagian yang ke-4, Kompasiana-15.

 

 

Fragmen sebelumnya (Silahkan klik tautan di bawah ini):

 

Fragmen untuk rencana posting ngeblog sahur esok dini hari:

  • #5 “Jika di Tempat Saya, Berkulit Putih Sangatlah Tidak Menguntungkan!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun