Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kebutuhan akan Uang Membuat Saya Meninggalkan Jabatan Terhormat

12 Juli 2015   02:37 Diperbarui: 12 Juli 2015   02:37 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tapi setelah komputer saya masih perlu yang lainnya lagi untuk berkarya, atau setidaknya membuat dan menghasilkan sesuatu. Dan berbeda dengan jawaban lucu mahasiswa muda dari Jogja pemenang lomba membuat film kartun pada sebuah talkshow di  TV Swasta saat ditanya apa lagi selain komputer yang dia butuhkan untuk membuat karya, saya tak menjawab: Meja komputer. Karena memang saya punya jawaban yang lebih sederhana dan lebih memalukan lagi, yaitu: Mengoperasikannya! Karena saya memang tidak bisa menggunakan komputer. Bahkan buta sama sekali tentang benda modern tersebut.

Tahukah kau bagaimana cara saya belajar komputer, hanya dengan dua kali melihat? Sangat aneh! Dan saya berharap tak ada lagi yang mengalaminya selain saya.

Saya jelas tidak termasuk golongan si cerdas atau mereka-mereka yang memiliki daya ingat super kuat. Hanya saja ada beberapa alasan yang membuat saya enggan untuk belajar di lembaga formal, atau mengundang profesional di bidang tersebut untuk memberikan In House Training kepada saya.

Tak punya uang tentu salah satu alasan terkuatnya, yang kian diperketat dengan perasaan malu karena di usia yang sudah bau tanah masih saja belum genah dan bahkan nol sama sekali, atau tak cukup waktu karena dalam hitungan tertentu saya sudah harus membuat ini dan itu yang dibutuhkan, serta alasan-alasan pemberat lainnya yang membuat saya terpaksa datang ke teman lama, cuma untuk minta diajari bagaimana cara tercepat untuk bisa mengetik huruf dan menaruh gambar.

Dan setelah dua kali pertemuan yang saya tidak yakin apakah mencapai setengah jam, dimulailah masa petualangan saya pada mesin berdenging tersebut. Petualangan yang seringkali penuh kebingungan tanpa tahu bentuk dan fungsi dari segala macam shortcut, toolbar atau bahkan file folder, selain hanya mengandalkan ingatan tentang letak tangan teman tersebut waktu meng-klik cursor yang kira-kira di deret tertentu sebelah atas layar komputer, dan atau sebagian kecil di sudut bawahnya.

Untuk gambar, tentu saja program paint adalah yang paling mudah! Itupun jelas bukan mudah bagi saya mengingat betapa ribetnya memperbaiki gambar yang warnanya terlanjur saya klik tanpa rem kaki dan sebagainya, yang harusnya dengan undo tentu selesailah masalah itu. Hanya saja saya lebih ingat ‘onde mande’ ketimbang undo atau redo.

Tak berselang lama komputer telah menjadi seperti tangan bagi saya. Walau mungkin cuma jempol atau kelingking saja mengingat saya hanya mampu memanfaatkan word dan paint. Agaknya tekanan kebutuhan untuk mampu sesegera mungkin mempergunakannya, serta dorongan keinginan untuk tidak berlama-lama tertinggal jauh dari teman, menjadi semacam perpaduan metode yang hasilnya cukup mencengangkan. Setidaknya mencengangkan buat saya sendiri, karena setelah itu dimulailah era baru saya sebagai dalang, dengan layar komputer sebagai panggungnya.

Tinta Kepedihan adalah buku pertama saya yang terbit dan beredar dengan bantuan teman kampus dan teman SMU. Berbentuk kumpulan puisi, dengan tag kecil: ‘Ketika Cinta Tak Lagi sekedar Peluk dan Cium’ yang cukup menggelitik dan menggoda pada masanya.

Seringkali setelahnya saya merasa malu sendiri mengingat betapa sarkas dan blak-blakannya tulisan saya dalam buku itu, yang dengan sangat sopan ditolak oleh teman yang berpenampilan agamis –walau saya merasa tak ada secuilpun kata-kata tak senonoh di dalamnya- sementara teman yang lain justru menganggapnya sebagai puisi-puisi yang sarat religi. Halaaahhh...!

Tak lama setelahnya, saya kembali menelurkan beberapa buku. Kali ini seri pendidikan. Kalau tidak salah jumlahnya mendekati 50 jenis, membuat saya cukup sukses menebar foto narsis di cover belakang, pada ribuan orang yang telah membeli dan mempergunakannya setiap hari sebagai bahan ajar, yang tidak hanya pada siswa saya mengingat beberapa lembaga pendidikan yang lainpun diam-diam memiliki dan menjadikannya sebagai buku panduan.

Dan tahukah kau, apa saja yang bisa saya lakukan saat mampu mengoperasikan komputer, walau cuma dengan dua program dasar yang amat sederhana? Nyaris segalanya! Sebuah jawaban yang terkesan begitu provokatif  dan amat menyebalkan. Namun memang itulah jawaban terjujur yang saya punya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun