Pembuatan logo, gambar, dan iklan yang lazimnya perlu program bantu adobe atau minimal corel, tetap saja saya memakai word. Bahkan laporan pendidikan, cashflow dan beberapa jenis tulisan yang harusnya menggunakan excel, tetap saja saya memakai word. Menampilkan foto kegiatanpun saya tetap menggunakan word.
Sempurnakah hasilnya, Bay? “Ouwh, tidak bisaaa...!” ucap Sule mem-blocking jawaban saya, seperti yang biasa ia lakukan terhadap teman-teman wayangnya di OVJ. Tapi yang jelas, dengan komputer plus dua program ‘mainan bocah’ tersebut, saya ternyata cukup berhasil mengembangkan usaha di bidang pendidikan, yang nyata-nyata memang hanya modal hati dan seketip mimpi, menjadi sebuah institusi yang paling tangguh dan disegani di tingkat lokal, dengan dua sekolah formal yang saya miliki, plus beberapa Lembaga Kursus, usaha sembako, kantin dan gerai alat tulis kantor serta usaha Pengelolaan Dana Masyarakat dengan perputaran uang yang tidak begitu berjarak dari angka 500 juta rupiah, yang seketika merubah saya dari seorang BOCAH BESAR yang berani-beraninya menerbitkan buku puisi tanpa malu, setelah sebelumnya ‘ditolak dengan sangat hormat dan sopan’ oleh keluarga ‘Direktur sebuah Bank Pelat Merah’ karena nekat meminta Mulan untuk menjadi istri dengan alasan ‘cuma mahasiswa muda’ dan ’tak pantas menikah ala koboi’, menjadi seorang anak muda yang disegani di wilayah domisili saya.
Siapa yang tidak kenal Bay pada saat itu...?!
Kalau hanya siswa kecil hingga gadis muda yang entah kenapa selalu mencium tangan setiap bertemu di lokasi manapun mungkin sudah biasa bagi saya, walau untuk yang terakhir dengan amat terpaksa saya buat penolakannya.
Usia yang tak terpaut jauh memicu kekhawatiran saya akan potensi jebakan affair yang mungkin timbul dan mengotori ketakdziman dari ritual cium tangan tersebut.
Bisa jadi saya yang mendapat getar-getar itu dari mereka, atau mungkin juga merekalah yang tercipret debar-debar tersebut dari saya. Karena bagaimanapun juga, saya hanya seorang anak muda biasa jika soal urusan rasa. Hanya seorang anak muda biasa, yang saat itu belum lama melewati usia dua puluhan.
Hanya saja kerikuhan tetap saja menimbun saya setiap kali ‘petinggi lokal’ di distrik yang menjadi tempat bisnis, selalu menyapa saya dengan sebutan ‘Pak...’ saat bersua, yang menjadikan saya seolah-olah telah amat tua bangka dengan seketika mengingat usia para petinggi tersebut yang sering kali mendekati tiga kali umur saya sendiri, yang setelah berkali-kali saya protes dengan jengah, tetap saja mereka memanggil dengan sebutan yang sama, yang juga tetap saya terima dengan hati gerah dan perasaan ‘tua renta’ yang bertambah-tambah.
Bagaimanakah cara saya melakukannya? Akan saya coba bahas dalam tulisan berikutnya, karena saat ini saya tengah memikirkan dengan amat serius, bahwa dengan segala situasi dan interaksi terhadap semua teman yang pernah saya kenal, apakah saya termasuk dalam kelompok orang yang suka memanfaatkan mereka...? Menjadi Si Matre yang gemar comot sana ambil sini sesuai dengan keinginan dan atau kebutuhan saya sendiri...? Atau justru itulah semua fungsi dari teman. Saling berbagi, dan bukannya memiliki. Saling memberi, dan bukannya menyerakahi ataupun mengangkangi serta mengkhianati. Tukar guling. Mungkin dengan kasur atau sekedar sapu lidi. Walau sering juga tanpa bantal guling sama sekali! Namun telah sepadankah segala yang mereka lakukan untuk saya, dengan semua yang saya perbuat untuk mereka...? Benar-benar sebuah pemikiran yang rumit dan menggangu nurani, yang seringkali tanpa saya sadari betapa inginnya saya agar Mulan ada di dekat saya. Karena saya amat yakin bahwa Mulan pastilah tahu jawaban terbaik dari semua. Atau setidaknya saya dapat sekedar menyandarkan kepala saya yang penuh ini ke dalam dada Mulan, dan berjanji untuk tetap, terus serta selalu saling menguatkan... seperti dulu.
Dan kehidupan yang semakin kompleks dan rumit yang saya jalani setelah masa-masa ini, seringkali begitu saja menerbitkan pertanyaan dalam benak saya.
Tahukah Mulan betapa saya begitu sering membutuhkannya, yang tidak sekedar saat saya tersesat dalam bisnis dan pergaulan sosial saja, melainkan juga dalam seluruh detak kehidupan saya...?!
Dan tahukah Mulan, bahwa saya terus saja berteriak tanpa kata dan suara, bahwa saya tak pernah segan untuk menukar semua yang telah saya punya itu, cuma demi keberadaan dia di samping saya, selamanya...?!