Seringkali saya merasa bahwa manusia memang tidak akan pernah bisa lari dari masa lalunya. Lengkap dengan segala macam belenggu dan telikungan keras yang membuat dia mau tidak mau mengepel lantai yang bertahun-tahun lampau pernah dikencinginya saat masih belia, atau sambil menggerutu tapi terus saja coba membangun kembali –atau setidaknya memperbaiki- ‘terowongan besar’ dari masa lalunya yang kebetulan runtuh, dengan atau tanpa kesengajaan.
Dan saat dia merasa tidak lagi punya daya untuk melakukan semua, tanpa segan ditariknya panah yang tengah meluncur hingga terpaksa bergerak mundur, yang seketika memposisikan anak-anaknya cuma sebagai perpanjangan tangan bagi banyak mimpi serta dunia utopia yang dulu tak pernah bisa dicapainya.
Pada ritual itulah saya terdampar. Menjadi guru, setelah bertahun-tahun lamanya saya habiskan waktu sebagai murid yang menyusahkan semasa sekolah. Dan segeralah hari pembalasan yang dijanjikan itu terjadi pada saya: Bahkan jauh-jauh hari sebelum saya mati!
Saya masih ingat saat harus rutin berlarian menangkapi murid yang enggan belajar, atau menemukan mereka di kolong meja, di balik pintu, juga di belakang lemari buku, dan mendudukkan mereka di tempat belajar yang semestinya. Bahkan saya juga pernah diludahi oleh seorang murid yang paling kasar dan berwajah angker! Sementara memanggil wali siswa tentu saja kemudian menjadi rutinitas yang biasa bagi saya.
Tapi siapa sangka menjadi guru pada akhirnya memang terasa amat menyenangkan? Terutama saat saya telah terlepas dari masa-masa ‘penyiksaan dan penebusan dosa’ dalam periode awal kepengajaran saya.
Saya yakin tak semua memiliki pendapat yang sama. Namun saya pribadi sangat tak ingin menukar pengalaman ini dengan apapun. Terutama saat setiap hari saya melihat ada begitu banyak mata polos dan bercahaya yang begitu mengharap untuk diberi pengetahuan yang berguna, yang walaupun sekedar ketrampilan membaca atau menghitung angka-angka, namun tetap membuat mereka amat bergembira seakan-akan dengan keahlian tersebut mereka langsung mampu untuk menjebol gudang uang negara atau menjadi lebih terkenal dari Lady Gaga.
Sering saya terkagum-kagum dan menjadi tidak habis pikir sendiri saat mengetahui, betapa banyak yang mampu diperbuat oleh sosok-sosok kecil ini: Hanya dengan tersenyum! Atau saat wajah-wajah lugu ini berubah sumringah tatkala nilai terbaik telah tertera di kertas mereka, yang menjadikan mereka spontan bertingkah seolah-olah baru saja berhasil menaklukkan jagad raya!
Tak ketinggalan pula momen indah saat mereka –entah mengapa- duduk di pangkuan kiri dan kanan saya sambil memegang-megang rambut saya yang kala itu masih gondrong sebahu, mengingatkan saya pada ‘Si Eksentrik’ yang acapkali sambil bercanda memanggil saya “Emaaa...k...!” saat kami masih aktif bertelepon ria masa kuliah dulu.
Juga ketika begitu banyaknya testimonial yang disampaikan wali siswa, yang begitu bahagia karena merasa telah mengambil keputusan terbaik untuk ‘menitipkan’ pendidikan buah hati mereka, yang memang terbukti mampu mengantarkan si kecil kepada keadaan from zero to hero. Setidaknya menjadi hero di keluarga mereka, atau di lingkungan serta pada jenjang sekolah lanjutan bocah kesayangan tersebut kelak.
Dan semua itu terlalu berharga buat saya, yang tak akan pernah mau untuk saya tukar dengan uang ataupun benda bernilai lainnya.