Juga ketika mereka bertanya tentang iuran dan pendaftaran. Semua jawab kami membeku, dalam senyum yang bingung.
Kompleks pendidikan itu begitu luas dan rapi. Bersahaja. Tak ada yang menyangka bahwa pendopo-pendopo itu, dibangun tanpa memungut sepeserpun uang gedung dari siswa. Bahkan biaya pendidikannyapun, walau tidak gratis, hanya sekedarnya. Sekedar pengganti buku dan paket yang digunakan. Tapi bukan berarti kesejahteraan guru dan pengurusnya menjadi sangat minim. Sulapkah? Ternyata bukan. Kepercayaanlah jawabnya. Juga keajaiban dunia virtual.
Matahari bersinar semakin terik, seakan-akan ingin mencurahkan semua pijar yang ia miliki. Sayup-sayup terdengar suara pengajar dari pendopo hijau, menerangkan tentang bazaar dan pembentukan kios majalah sebagai wahana memperoleh informasi secara gratis. Sementara pada pendopo kuning terlihat banyak sekali kesibukan. Ada yang membuat layang-layang, kartu bergambar, pigura, juga makanan ringan dan ‘es kebo’. Beberapa siswa terlihat menyerahkan kaligrafi dan ‘lukisan’ abstrak di atas kaos oblong kepada pengajar.
Kulangkahkan kaki menuju pendopo biru. Hari ini salah satu pengajar tidak masuk.
Setelah berdoa bersama, kunyalakan OHP dan sebuah transparansi kuletakkan di atasnya.
“Ini namanya huruf alif, anak-anak. Bentuknya lurus, seperti menara masjid, seperti tiang listrik…”
Dan tunas-tunas muda itu terlihat begitu antusias, mendengarkan penjelasan tentang bentuk-bentuk dasar kecakapan manusia. Senyum dan tawa sesekali keluar dari mulut-mulut kecil mereka. Sementara tangan-tangan mungil mereka terlihat begitu sibuk, mencorat-coret sesuatu pada buku. Sibuk merangkai cahaya…
Thorn Village-02
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H