Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Utopia, Ethiopia, Indonesia

4 Juli 2015   20:46 Diperbarui: 4 Juli 2015   20:46 696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Saat itu, ketika kedukaan begitu menyelimutiku, ketika kenyataan-kenyataan yang tersaji di hadapanku begitu kejam dan menguras air mata. Dan ketika aku hanya mampu memindahkan semuanya kedalam goresan-goresan jiwa pada dinding kamar. Saat itulah aku mulai bangkit. Bergerak. Kuundang teman-temanku untuk berdiskusi, membuat sketsa dan rencana bagi pembentukan sebuah ‘rumah besar’. Sebuah tempat yang dapat membuat manusia mampu untuk mengikis semua kebodohan dan kebutaan akan ilmu dan finansial. Sebuah tempat yang mampu untuk mengajarkan sesuatu, tentang cara-cara mengangkat beban yang ada, tanpa harus terbebani lagi dengan beban baru berlabel biaya ini dan itu.

Enam bulan lebih kami bekerja keras. Membuat paket dan modul, lobi sana-sini dan usaha-usaha lainnya yang sangat menguras waktu dan pikiran.

Saat itu kami tak punya uang sepeserpun. Hanya semangat yang kami punya. Semangat untuk berkarya. Semangat untuk bisa memberikan sesuatu yang berharga bagi kehidupan.  Walau kami sadar bahwa niat dan semangat saja tidaklah cukup. Tapi kami tetap berusaha, tetap berjuang dengan sekuat tenaga. Bukankah hanya itu kewajiban manusia? Sementara hasil akhir, biarlah itu menjadi urusan pemilik manusia.

Tapi kota Roma memang tidak di bangun dalam satu hari!

Tekad kami diuji. Kendala mulai menghadang, berdatangan dari segala penjuru dan mulai memasung kami. Lobi-lobi tak berhasil. Tak ada sponsor yang tertarik untuk membiayai. Juga tak ada tempat.

Waktu terus berlalu meninggalkan satu demi satu kelopaknya yang berguguran. Bergulir dengan sangat lambat, tertatih-tatih seperti seorang kakek tua renta yang berjalan dengan tongkat. Hingga suatu saat, kami menemukan sebuah tempat. Agaknya bekas sebuah surau yang tak lagi dipakai, di bantaran kali yang padat penghuni.

Semangat kami bangkit lagi. Buku dan paket kami perbaiki, kami sederhanakan lagi. Lalu brosur kami sebar. Tak banyak, sesuai dengan recehan yang ada di kantung kami. Sementara pada bagian depan kami tempeli sebuah karton, dengan tulisan tangan di atasnya: TK Cahaya.

Hari-hari kembali berlalu, seperti seorang hakim yang angkuh dan gemar menebar cemas. Satu minggu, dua minggu, tak ada satupun siswa yang mendaftar. Gagal lagikah?

Baru pada minggu ketiga mulai terlihat perubahan. Murid-murid mulai berdatangan. Satu orang, dua orang, hingga akhirnya ruangan kecil itu terisi penuh.

Pada awalnya kami merasa rikuh ketika para orang tua murid itu menanyakan fasilitas yang ada.

Fasilitas apa? Bahkan bangkupun tak ada! Yang ada hanyalah sebuah triplek bekas yang diberi cat hitam, kapur tulis, lekar dan alas lantai yang tipis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun