Setiap orang berbuat kesalahan, kata-kata itu yang selalu menetes dari mulut- mulut yang kutemui ketika kuceritakan lagi realitas tentang negeri yang tertidur ini. Itu mungkin jawaban yang paling tepat. Atau setidaknya, jawaban itulah yang paling jujur dari mereka. Hanya saja aku tak menemukan jiwa-jiwa penyelesaian di dalamnya. Tapi adakah jawaban yang paling benar untuk semua masalah? Sementara kehidupanpun kini telah menjadi begitu relatif.
Saat aku kecil, guru ngajiku pernah mengatakan bahwa dunia, laksana penjara bagi orang-orang yang beriman. Saat itu aku hanya terdiam, dalam ketidak mengertian yang kental. Tapi hari ini semuanya terulang lagi, ketidak mengertian itu. Hari ini masih kulihat negeri yang katanya ‘gemah ripah loh jinawi’ ini, berevolusi menjadi sebuah pabrik seni. Parade tentang seni di gelar di mana-mana, di perempatan jalan, di kereta, di bus kota, dan di tempat-tempat lainnya yang kusam dan semrawut. Bahkan banyak dari insan seni itu, yang usianya masih terlalu belia, begitu fasih mempersembahkan pentas air mata, hanya dengan bermodalkan kantung-kantung bekas pembungkus permen… mengemis!
Inikah penjara itu? Jika benar, alangkah besar dan meratanya iman yang dimiliki oleh orang-orang di negeri ini. tapi kenyataan akan sedikitnya shaf yang terbentuk dalam masjid yang kusinggahi ketika shalat, memaksaku untuk berpikir lagi sebelum menyetujuinya.
Hari ini aku kembali menangis, lirih. Menangisi segala ketidak berdayaanku atas mereka. Jika saja ada sesuatu yang bisa dijadikan kambing hitam, maka sesuatu yang paling tepat itu pastilah takdir. Bukankah kata-kata itu yang paling digemari oleh manusia ketika semuanya telah menjadi begitu gelap dan menyakitkan? Lalu syair-syair tentang kedhaifan terdengar begitu merdu: Hidup terlalu keras sementara kami begitu lemah…
***
Dosa kolektif, sebuah kata baru lagi. Entah sejak kapan kata-kata itu lahir. Tapi setidaknya pernyataan itulah yang paling mampu untuk mengurangi beban moral bagi setumpuk ketidak adilan yang sempat terjadi. Bukankah semuanya adalah proses? Bahkan bungapun harus rela untuk layu dan kehilangan pesonanya agar sang buah… menjelma.
Orang-orang pintar memang sangat banyak di negeri ini. Juga para dermawan, tak terhitung! Hanya saja terlalu banyak persoalan yang harus diselesaikan. Sementara daftar kemiskinan yang ada, terus membengkak. Membentuk mata rantai yang saling berkait dan menyebar.
“Tidak!” aku mendesah kuat-kuat.
“Aku tak boleh menyerah!” lanjutku mantap. Keras kepala.
Aku mungkin bisa saja hanya merutuki semuanya lalu melanjutkan hidup, apa adanya. Tapi, itukah yang kucari? Atau dapatkah aku melakukannya dengan berpura-pura tenang dan menutup mata, setelah semua yang kulihat dan kualami?