Minggu yang angkuh. Pagi ini kami bertemu –pada sebuah Mall di Jakarta- setelah satu musim lamanya.
“Bagaimana kabarnya Bogor?” aku memulai percakapan. Kaku. Kerikuhan yang tebal menyelimuti. Sementara kau menatapku. Dalam, seperti mencoba mencari makna yang terpeta.
“Maafkan aku karena memintamu datang,” ucapku lagi. “Tapi ini bukan sekedar iseng. Pertemuan ini, amat berarti buatku…”
Lalu semuanya mengalir. Penuh. Kutampilkan segala keakuanku, apa adanya. Kutuangkan segala resah yang menggelembung. Segala duka. Segala rasa. Kucurahkan segala yang terjadi, segala pencarianku. Tak tersisa. Andai waktu punya jiwa, tentu ia sudah rebah karena sejuta cerca yang tertumpah, karena sejuta duka yang tak kunjung usai tercerna.
Kamu terdiam. Serius mendengarkan. Tapi cahaya di matamu begitu dingin. Bahkan penuh kabut. Ah, adakah yang terlewat?
“Kamu cuma mengada-ada,” ucapmu datar. Tajam. “Kamu lepas kendali… Mengapa alam, mengapa keadaan… menjadi seakan-akan begitu ‘Tuhan’ bagimu?”