“Hari ini,” lanjutku. “Dua puluh satu tahun setelah 14 Agustus pertamamu, kucoba memberikan kebebasan untukmu. Kebebasan yang kau inginkan. Yang secara tak sengaja telah terampas olehku, oleh rasa sayangku. Aku… aku…” tiba-tiba saja aku menjadi gagap, tak mampu melanjutkan kata-kata. Pandanganku terasa memburam. Dan entah mengapa, mendadak saja aku merasa begitu lelah. Sebuah kelelahan yang sangat.
Kesunyian kembali merayap. Pelan. Panjang. Kosong.
“Te-terima kasih… atas hadiahmu yang teramat istimewa ini…” ucapmu memecahkan kesunyian. Tapi, lagi-lagi kau menangis. (Mengapa wanita begitu mudah menangis?) Tanpa suara. Hanya isak dan air mata.
Tetapi aku hanya diam. Tak bergerak. Hanya diam dan membisu, juga menunggu.
Setelah agak reda, masih dalam tangis kau berkata. Suaramu putus-putus.
“Aku tahu… berat bagimu memutuskan semua. Tetapi ini adalah hadiah terindah yang pernah kuterima. Walau aku tahu, untuk itu… kau… mendebu. Aku juga… Jika ingin jujur, aku juga tak suka dengan keadaan ini. Aku juga hancur… Tetapi semua terpaksa harus dilakukan… untuk kebaikan kita. Jalan gelap ini harus kita akhiri, karena bagaimanapun indahnya, ini… tetap sebuah kesalahan…” kamu terdiam lagi. Tenggelam dalam isak dan air mata. Sementara aku sudah sejak tadi tanpa ruh.