"Orang asing, terima kasih telah menolong kami. Tanpa bantuanmu, kami mungkin tidak dapat selamat dari serangan bandit itu."
"Sama-sama, Nona. Aku senang dapat membantu Anda sekalian." Dimas balas menjura dan segera kenakan kembali caping di kepala dan kalungkan udeng pada lehernya.
Kedua kawan si wanita muda mendekati tubuh si rambut gondrong. Tubuhnya tampak kaku tegang; Matanya masih berkedip ketika tubuhnya dibalik; dan dadanya kembang kempis.
Oh, mereka ingin dirinya hidup-hidup ternyata. Mungkin mereka ingin mendapatkan informasi darinya. Dimas berpikir tentang siapakah orang-orang berpakaian kuning-coklat ini. Apakah kepentingan mereka dengan para Bandit Hutan Larangan ini? Dan apakah mereka dapat membantu dirinya?
"Saudara," kata si wanita muda itu memecah lamunannya. "Siapakah gerangan namamu, Saudara?"
Dimas terkesiap. Ia terlalu terbawa pikiran hingga tidak memperhatikan orang di hadapannya.
"Dimas Pradana, Nyonya."
"Dimas Pradana, ya? Apakah kau tidak punya gelar? Aneh, biasanya orang-orang dengan kesaktian besar sepertimu tidak akan menyebut nama asli." Si wanita muda itu tersenyum heran.
Gelar? Ah, ia lupa sedang berhadapan dengan orang asing. Seharusnya ia beri saja nama samaran untuk menghindari sesuatu yang terburuk. Namun, orang-orang ini tampak tidak memiliki niat jahat. Ya, dilihat dari perlawanan mereka tadi.
"Maaf, apakah kalian ada urusan dengan orang-orang berbaju hitam tadi?" tanya Dimas pada si wanita muda.
"Mereka adalah Bandit Hutan Larangan. Mereka menguasai desa-desa sekitar Gunung Naga ini sejak beberapa tahun yang lalu. Banyak penduduk yang diperbudak dan sebagian terusir dari desa."