Ketiga bandit itu lalu bangkit. Mengibas-ibas bajunya yang lusuh terkena tanah. Salah satu dari mereka mendekat. Raut muka kesal dan emosi tampak pada wajahnya yang berkumis tebal.
"Hei, siapa kau?" Bandit berkumis tebal itu acungkan parang panjangnya ke muka. Dimas hanya tertawa dalam hati. Ia tidak mau jawab
"Jika dirimu tidak ada urusan di sini lebih baik pergi saja!"
"Betul, kau mau mati, ya? Pergi saja sana!"
Kedua orang bandit lainnya menimpali. Mereka mendekat pada si kumis tebal. Dimas memilih diam dan tercetus sebuah ide.
Ia menunjuk mereka satu per satu dari yang paling kanan sampai kiri. Tiap kali jarinya menunjuk jatuh pada para bandit, muka mereka seperti bingung. Setelah menunjuk semua bandit itu, Dimas segera gerakkan tangan kiri secara horizontal perlahan ke depan lehar. Gerakannya seperti menyembelih sapi.
Geramlah para bandit saat diejek demikian. Mulut mereka bersumpah serapah. Dimas berhasil membuat mereka emosi.
"Sialan, kau ini memang cari mati. Terima ini!" pekik si bandit kurus paling kiri. Ia melesat ke depan dan kirimkan serangan dahsyat.
Dimas segera alirkan sedikit tenaga dalam. Saat serangan musuh mendekat, ia cabut pedangnya yang tersampir di pinggang kiri lalu sabetkan ke arah musuh.
Cahaya kuning pedang beradu dengan kilau perak parang musuh. Dentingan memecah udara. Bunga api memuncah ke segala arah.
Dimas putar pedangnya dengan lihai untuk memapras tusukan-tusukan musuh. Meskipun hanya menggunakan sedikit tenaga dalam, tetapi cukup untuk membuat musuh kewalahan. Semakin lama kekuatan serangan si bandit berkurang. Gerakannya semakin gontai dan lemah.