Mohon tunggu...
Ahmad Afandi
Ahmad Afandi Mohon Tunggu... Lainnya - Buruh

Masih Belajar Menulis (Kembali) !!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pembuktian

15 April 2024   16:45 Diperbarui: 10 Mei 2024   16:15 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Api (Pexels.com/MOEIN MORADI)

"Kamu itu dibilangi masih aja jawab. Kamu itu belum cukup umur tahu gak?" bentak ibunya, "Untung  yang kebakar cuman pelataran sama pohon aja. Kalo sampek rumah orangnya gimana? Ganti rugi pakai apa kita?"

Bentakan ibunya itu selalu membuat emosi Wiwik meluap. Ia merasa bahwa dirinya telah melakukan sesuatu yang benar. Membantu orang yang lebih lemah dengan kekuatannya.

"Kan cuman rumput sama pohon aja lho yang kebakar," gumam Wiwik sambil menyandarkan tubuhnya ke bangku taman, "Lagian kemarin juga para vigilantis tidak langsung datang gitu pas orang-orang minta tolong."

Emosinya malah meninggi. Kepalanya tambah panas. Hatinya makin tidak terima.

"Yang penting kan tas ibu kemarin sudah aman dan enggak ada korban toh?" imbuhnya sambil meneguk minuman kaleng rasa lemon.

Dipijat pelan kepalanya di bawah naungan pohon yang berada di belakang bangkunya. Meskipun ditemani sejuknya minuman dingin dan rimbunnya pohon dari teriknya siang hari, kepalanya masih saja pusing dengan masalah kemarin itu.

Damainya taman kota pada siang hari itu seketika terusik oleh suara ledakan yang keras. Wiwik dan beberapa pengunjung taman yang lain terkejut.

Tak lama kemudian suara tembakan mulai menyeruak. Orang-orang sekitar mulai berteriak dan panik ketakutan.

Wiwik penasaran dengan apa yang terjadi. Setelah mengumpulkan keberanian ia memutuskan untuk mendekati sumber suara yang berasal dari luar taman.

Bagaikan ikan yang melawan derasnya arus sungai. Gadis 14 tahun ini bergerak melewati gelombang manusia yang ingin menyelamatkan diri.

Sebuah mobil tahanan berwarna hitam terguling di  tengah jalan. Terdapat juga bekas ledakan di belakang mobil tersebut. Dari balik kacanya yang retak, tampak sopir mobil tersebut yang tidak sadarkan diri.

Empat polisi yang masih bertahan menembak ke arah musuh dengan pistol dan senapan ringan. 

Dengan berlindung di balik badan mobil patroli, para abdi negara tersebut mencoba memberikan serangan balasan untuk mengulur waktu.

"Roger, Skuad 9 memanggil markas. Kami diserang oleh teroris. Segera kirim bantu-" Polisi tersebut segera memutus pembicaraan dan menunduk untuk berlindung. Beberapa tembakan hampir mengenai dirinya jikalau ia tidak menunduk tadi.

"Terus berondong mereka kawan-kawanku. Terus push push push lagi bajingan itu!" pekik seorang pria berompi anti peluru dengan memakai topeng merah-hitam yang terbelah vertikal.

Pakaian serba hitam lengkap dengan rompi anti peluru dan topeng yang khas macam itu sudah cukup membuat orang sekitar mengenalinya. Red Gun namanya, seorang pemimpin dari kelompok teroris paling dicari oleh pemerintah bernama 'Pedang Hitam' .

"Ayo bersiap. Kau dan aku akan maju kesana untuk membebaskan adikku," perintahnya sambil menunjuk kearah mobil tahanan dan memberikan linggis ke salah satu anak buahnya yang berambut gondrong.

"Siap Kapten!" jawab anak buahnya itu sambil memberi hormat.

Wiwik mengamati di balik dinding gedung seberang. Sesekali ia mencoba untuk menarik dirinya kebelakang agar tidak terkena tembakan.

Meskipun gedung tersebut agak jauh, ia masih dapat melihat empat polisi melawan delapan orang teroris bersenjata senapan serbu.

Ia melihat dengan seksama. Dalam hatinya mulai gundah. Rasa ingin membantu dan tidak yakin mulai muncul. Ia hanya tak yakin apakah kekuatannya cukup untuk menghabisi seluruh teroris itu dalam sekali serang.

Seketika ia teringat saat menghentikan jambret dua hari yang lalu. 

Saat itu ia hanya menggunakan kekuatannya yang tak seberapa untuk sekedar menjatuhkan seorang jambret dari sepeda motornya.

"Pantesan kemarin tidak sampai membakar gedung sekitar," ingatnya singkat sambil nyeruput minumannya, "Lha wong kekuatan yang aku pakai saja enggak terlalu besar kok. Kalo lebih besar kan bisa cukup lawan mereka."

Wiwik pun mendapatkan ide yang bagus. Segera ia lepas jaket denim biru lautnya dan diikatkan ke pinggangnya. Dengan antusias ia habiskan minumannya dalam sekali tenggak.

"Lihat ya buk, sekarang anakmu ini yang akan jadi pahlawan," tuturnya lagi sambil menyeka bekas minuman di mulutnya dan beranjak dari tempatnya berlindung.

Wiwik pun berlari mengitari gedung tersebut menuju gang belakang. Beberapa orang sempat melarang dan mencoba menghentikannya. Namun gadis  yang penuh semangat ini tetap tak gentar. Ia terus maju menuju lokasi baku tembak.

Disingsingkan lengan kaos pinknya hingga ke bahu. Digeraikan pula rambut panjang yang terkuncir hingga berlambaian di udara. 

Jantungnya berdebar kencang. Kini waktunya sudah tiba. Pembuktian bahwa ia juga bisa menjadi pahlawan.

Keempat polisi tersebut semakin tersudut. Serangan balasan mereka tak sebanding dengan jumlah musuh yang dilawan. 

Melihat adanya kesempatan ini, Red Gun dengan anak buahnya yang gondrong tadi bergerak ke mobil tahanan yang terguling.

Belum sampai ke mobil tersebut, sebuah bola api melesat kencang ke arah kedua teroris tersebut.

Sontak, Red Gun berhasil mengelak dari serangan tersebut. Naasnya bola api itu justru mengenai anak buahnya yang gondrong. Dengan sekejap api mulai menyelimuti tubuhnya dan membakar habis rambutnya.

Panasnya bukan main. Ia meronta-ronta. Berlari kesana-kemari tak tentu arah. Tanpa disadarinya ia berlari menuju tembakan. Pria gondrong itu pun roboh saat tembakan dari seorang kawan menembus tubuhnya.

Semua orang terkejut melihat kejadian yang begitu cepat ini. Tak disangka pula, bola api kedua melesat kembali dari mulut gang di depan jalan.

Kali ini mengarah kepada anak buah Red Gun yang berlindung depan gedung. Mereka berhasil mengelak sehingga bola api kedua hanya melahap gedung tersebut.

Melihat kesempatan ini, dua polisi yang lain melepaskan tembakan ke arah mereka. 

Bingung dengan keadaan, Red Gun terpaksa mundur kembali dan berlindung di balik pagar semen.

Di tengah kebingungan ini, seorang gadis berkaos pink dengan celana jeans biru laut keluar dari gang tersebut. Ia tampak tenang saja berada di dalam pertarungan meskipun masyarakat sekitar yang berlindung tampak kaget dan khawatir.

Salah satu polisi yang berlindung di balik mobil mengetahui hal tersebut dan memberikan isyarat untuk mundur.

Wiwik tersenyum manis dan dengan sombongnya dialirkanlah tenaga yang besar pada kedua lengannya. Cahaya kuning mengalir dari dalam urat darahnya. Kedua lengannya mulai memanas dan memancarkan api.

Disatukan kedua telapak tangannya hingga membentuk seperti kuntum bunga. Dengan mantap ia lepaskan tembakan bola api ke arah teroris di seberang.

Bola api ini begitu besar dan kuat hingga mampu menghempaskan bukan hanya tiga teroris yang ada di depan, namun juga membakar gedung-gedung sekitar yang menghalangi lajunya.

Api tersebut menyebar ke segala arah. Melahap segala sesuatu yang ada di depannya. Rumah, warung, pohon, kendaraan, hingga orang-orang yang berlindung dari aksi baku tembak.

Mereka meronta-ronta kesakitan. Tubuh mereka terpanggang hidup-hidup.

Wiwik tersentak melihat apa yang terjadi. Tubuhnya membeku seketika. Napasnya juga semakin cepat. Dalam hitungan detik saja ia sudah mengubah pertarungan antara polisi dan teroris menjadi neraka.

"Apa yang sudah kuperbuat?" ungkapnya sambil menatap ngeri ke arah orang-orang yang terbakar hidup-hidup.

Sontak, seorang polisi berdiri dari tempatnya berlindung. Rekan di sebelahnya masih terpaku melihat apa yang terjadi di depan.

"Hei, cepat per-" hardiknya terputus. Ia roboh seketika terkena tembakan dari belakang. Tubuhnya tersungkur dengan wajah mencium aspal. Polisi di sebelahnya terkejut. Namun karena tembakan yang terus-menurus menuju kearahnya, ia terpaksa membiarkan rekannya tergeletak bersimbah darah.

Baku tembak semakin intens. Para teroris berhasil menyudutkan polisi yang tersisa. Kekacauan yang terjadi di belakang tak serta merta membuat mereka gentar. Malahan ini adalah kesempatan bagi mereka untuk bergerak maju.

"Bagus!" ungkap Red Gun antusias seraya melambaikan isyarat pada anak buahnya, "Ayo semua, maju lagi. Ini kesempatan kita!"

Bagi Wiwik situasi ini justru membuatnya kebingungan. Tubuhnya pun gemetaran. Keadaan makin tidak terkendali. Apa yang diperbuatnya justru memperburuk situasi.

Di tengah kebingungan ini ia melihat salah seorang teroris berlari mendekat menuju mobil tahanan. 

Wiwik berusaha tenangkan diri. Sambil gemetar, ia alirkan energi ke tangan kanannya lalu ditembakanlah bola api ke arah teroris tersebut.

Sayangnya serangan itu meleset. Bola api itu justru mengenai polisi yang ada di depannya. Api seketika melahap pria tersebut beserta mobil tempatnya berlindung. Polisi yang malang ity berguling kekiri dan kekanan saat tubuhnya terbakar hidup-hidup.

Wiwik berteriak histeris. Tubuhnya mulai lemas. Ia pun duduk bersimpuh. Wajahnya memerah. Diremaslah rambutnya yang lurus itu sambil menangis.

"Apa yang sudah kulakukan? Apa yang sudah kulakukan?" rintihnya pedih.

Ia tertunduk penuh penyesalan. Niat ingin membuktikan diri pun berubah menjadi bencana. Banyak korban berjatuhan hanya karena tindakannya.

"Bodohnya diriku! Cerobohnya diriku! Ini semua salahku. Salahku!" sesalnya sambil memukulkan tangannya ke tanah.

Melihat kondisi ini, Red Gun dengan anak buahnya bergerak cepat ke arah mobil tahanan. Beberapa diantaranya mengepung dari berbagai penjuru dua polisi tersisa. Dengan sigap, para teroris berhasil menghabisi polisi itu di tempat.

Pintu mobil tahanan mulai dicongkel dan mobil jemputan bagi para teroris ini pun tiba. Sesosok pria berpakaian seperti ninja berwarna biru tua keluar dengan dua buah pedang katana menyilang di punggungnya.

Setelah berbasa-basi singkat, ninja biru ini beserta anggota yang lain langsung masuk ke mobil jemputan berwarna merah. Mereka bergegas masuk dan pergi dari lokasi sebelum polisi dan vigilantis tiba.

Red Gun menginstruksikan kepada anak buahnya yang lain untuk melakukan hal yang serupa. Namun, sebelum masuk ke mobil ia melihat gadis yang tertunduk penuh penyesalan itu dari kejauhan.

"Bagaimana dengan gadis itu kapten? Apa kita perlu membunuhnya juga?" tanya seorang anak buahnya dari dalam mobil.

"Tidak perlu," tukas Red Gun cepat sambil membuka pintu mobil, "Misi kita hanya membebaskan adikku lalu pergi. Bukan untuk membunuh anak kecil."

Ia pun masuk ke mobil tersebut dan pergi meninggalkan lokasi. Dengan cepat kedua mobil teroris itu mulai melebur dengan lingkungan sekitar. Menghilang tanpa jejak di dalam padatnya jalanan kota.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun