Oleh karena itu, Nozick menolak gagasan bahwa redistribusi kekayaan diperlukan untuk mencapai keadilan sosial. Menurutnya, fokus seharusnya pada memastikan bahwa semua individu memiliki kebebasan untuk berusaha dan berinteraksi secara adil di pasar, tanpa campur tangan dari pihak luar yang mencoba mengatur hasilnya. Dengan cara ini, Nozick menegaskan pentingnya menghormati hak individu dan kebebasan dalam penciptaan kekayaan, serta menolak pandangan yang menganggap redistribusi sebagai langkah yang diperlukan untuk mencapai keadilan.
Robert Nozick mengklasifikasikan teori-teori keadilan distributif menjadi dua kategori dasar: teori berpola dan teori historis. Keduanya memiliki pendekatan yang berbeda dalam menentukan apa yang dianggap adil dalam distribusi kekayaan, pendapatan, atau peluang.
1. Teori Berpola
Teori-teori berpola berpendapat bahwa distribusi kekayaan harus sesuai dengan pola-pola abstrak yang ditetapkan. Artinya, keadilan diukur berdasarkan bagaimana kekayaan seharusnya didistribusikan menurut kriteria tertentu, tanpa memperhatikan bagaimana distribusi tersebut terbentuk atau proses yang terlibat. Beberapa contoh teori berpola meliputi:
a. Egalitarianisme
Menyatakan bahwa distribusi kepemilikan adalah adil jika setiap individu memiliki jumlah yang sama. Teori ini berfokus pada kesetaraan hasil, mengabaikan proses yang membawa individu ke posisi mereka saat ini.
b. Meritokrasi
Berargumen bahwa distribusi kepemilikan adalah adil jika kekayaan yang dimiliki individu sebanding dengan jasa atau kontribusi mereka. Dalam hal ini, keadilan diukur berdasarkan kontribusi individu dalam masyarakat.
c. Rawlsianisme
Menurut John Rawls, distribusi kekayaan dianggap adil jika distribusi tersebut memaksimalkan keuntungan bagi anggota masyarakat yang paling tidak beruntung. Teori ini menekankan pentingnya memperhatikan kesejahteraan mereka yang kurang beruntung dalam distribusi kekayaan.
d. Utilitarianisme