Mohon tunggu...
Ahmad Faizal Abidin
Ahmad Faizal Abidin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sebagai seorang mahasiswa yang selalu berusaha memberikan hal-hal bermanfaat untuk semua orang, saya senang berbagi ide dan inspirasi dalam berbagai bentuk. Mulai dari artikel mendalam, opini yang membuka wawasan, puisi yang penuh makna, hingga cerpen yang menghibur dan humor yang segar. Setiap karya yang saya hasilkan bertujuan untuk memberi nilai tambah, memperkaya pengetahuan, dan menghadirkan senyuman di tengah rutinitas sehari-hari. Melalui tulisan, saya berharap bisa membangun jembatan pemahaman dan mendorong kreativitas, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Esensi Kebebasan dalam Perspektif Alamiah: Menelusuri Sifat dan Nilainya

14 Oktober 2024   05:44 Diperbarui: 14 Oktober 2024   07:20 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok.Friedrich Naumann Foundation

BAB 3

Sebelum menilai apakah Amerika Serikat layak menyandang label "negeri orang bebas," kita harus memahami terlebih dahulu apa itu kebebasan. Secara umum, kebebasan merujuk pada kemampuan individu atau kelompok untuk bertindak, berbicara, dan berpikir tanpa hambatan atau paksaan eksternal yang tidak semestinya. Dalam konteks politik dan sosial, kebebasan mencakup hak-hak dasar seperti kebebasan berpendapat, kebebasan berkumpul, dan kebebasan memilih dalam sistem demokrasi.

Namun, kebebasan bukanlah konsep yang mutlak. Dalam masyarakat mana pun, termasuk di Amerika Serikat, kebebasan diatur oleh hukum dan norma untuk memastikan bahwa kebebasan satu orang tidak mengganggu hak atau kebebasan orang lain. Jadi, kebebasan adalah sebuah keseimbangan antara hak individu dan tanggung jawab sosial.

Label "negeri orang bebas" yang disematkan pada Amerika Serikat mencerminkan prinsip-prinsip demokrasi yang dipegang negara tersebut, seperti kebebasan berbicara, kebebasan pers, dan hak untuk menentukan nasib sendiri melalui pemilu yang bebas dan adil. Namun, apakah label ini sepenuhnya sesuai tergantung pada bagaimana negara tersebut menjalankan prinsip-prinsip kebebasan ini dalam praktik, termasuk menghadapi isu-isu seperti ketidakadilan sosial, diskriminasi, dan pelanggaran hak asasi manusia.

Oleh karena itu, penting untuk tidak hanya melihat kebebasan sebagai konsep teoretis, tetapi juga menilai sejauh mana kebebasan itu diterapkan dalam kehidupan nyata, baik di Amerika Serikat maupun di negara lain.

Isaiah Berlin, dalam esainya yang terkenal "Dua Konsep Kebebasan", menjelaskan bahwa istilah "liberty" dan "freedom" tidak memiliki satu makna tunggal, melainkan telah digunakan dalam berbagai cara oleh penutur bahasa Inggris. Dari berbagai makna tersebut, Berlin mengidentifikasi dua konsep utama kebebasan yang sering dibahas oleh para filsuf, yaitu kebebasan negatif dan kebebasan positif.

1. Kebebasan Negatif

Kebebasan negatif merujuk pada kebebasan dari campur tangan eksternal. Artinya, individu bebas jika mereka tidak dihalangi atau diatur oleh pihak lain dalam melakukan sesuatu. Dalam konteks ini, kebebasan dilihat sebagai absennya batasan atau kontrol dari luar, baik itu dari pemerintah, masyarakat, atau individu lain. Contoh dari kebebasan negatif adalah hak untuk menjalankan keyakinan tanpa tekanan negara atau hak untuk berbicara tanpa takut akan hukuman.

Kebebasan negatif sering dikaitkan dengan perlindungan terhadap hak-hak individu dari campur tangan otoritas, serta dengan gagasan liberalisme klasik yang menekankan pada peran minimal pemerintah dalam kehidupan pribadi.

Kebebasan negatif, seperti yang dijelaskan, mengacu pada absennya campur tangan atau halangan dari pihak luar terhadap tindakan seseorang. Ini berarti individu bebas jika tidak ada pihak yang menghalangi, membatasi, atau mendominasi mereka dalam melakukan sesuatu. Kebebasan negatif berfokus pada perlindungan individu dari gangguan eksternal yang membatasi pilihan dan tindakan mereka.

Sebagai contoh, dalam Konstitusi Amerika Serikat, kebebasan berbicara dilindungi sebagai bentuk kebebasan negatif. Perlindungan ini dilakukan dengan melarang pemerintah, khususnya Kongres, untuk meloloskan undang-undang yang dapat mengganggu hak seseorang untuk mengekspresikan pendapat mereka. Ini berarti pemerintah tidak boleh campur tangan atau mengatur apa yang seseorang boleh atau tidak boleh katakan, sehingga individu dapat berbicara dengan bebas tanpa rasa takut akan hukuman atau sanksi.

Contoh lain dari kebebasan negatif adalah konsep "perdagangan bebas" dalam ekonomi. Dalam konteks ini, kebebasan berarti tidak adanya hambatan seperti tarif, pembatasan, atau aturan yang menghalangi seseorang untuk berdagang dengan pihak asing. Artinya, individu atau entitas bisnis memiliki kebebasan untuk melakukan transaksi ekonomi tanpa intervensi pemerintah atau pihak lain yang membatasi aktivitas perdagangan mereka.

Secara keseluruhan, kebebasan negatif menekankan pada ketiadaan campur tangan, di mana hak-hak individu dijamin dengan cara mencegah pihak lain (baik pemerintah, kelompok masyarakat, atau individu lain) mengganggu atau membatasi tindakan tersebut. Ini adalah konsep yang kuat dalam sistem demokrasi liberal, yang berfokus pada melindungi kebebasan individu dari kekuasaan atau kontrol berlebihan.

2. Kebebasan Positif

Kebebasan positif, di sisi lain, merujuk pada kebebasan untuk bertindak atau menjadi sesuatu. Ini berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk mewujudkan kehendaknya sendiri dan mencapai potensi penuh. Kebebasan positif tidak hanya menghindari campur tangan, tetapi juga menekankan pada keberdayaan untuk memilih dan bertindak sesuai dengan kehendak diri. Ini bisa melibatkan peran aktif negara atau masyarakat dalam menciptakan kondisi yang memungkinkan individu mencapai kebebasannya, misalnya melalui pendidikan, kesejahteraan ekonomi, atau perlindungan sosial.

Kebebasan positif, tidak seperti kebebasan negatif yang berfokus pada absennya hambatan, mengacu pada kehadiran kemampuan atau kapasitas yang memungkinkan seseorang untuk bertindak atau mencapai sesuatu. Dalam pengertian ini, kebebasan positif lebih terkait dengan kekuatan atau kemampuan seseorang untuk mewujudkan keinginan, tujuan, atau potensi diri mereka secara aktif.

Isaiah Berlin mendefinisikan kebebasan positif sebagai kapasitas seseorang untuk menguasai diri, yang berarti memiliki kendali atas tindakan dan tujuan mereka secara rasional dan otonom. Dalam pandangan ini, seseorang dianggap bebas jika mereka mampu membuat keputusan berdasarkan kehendak mereka sendiri, tanpa didorong oleh pengaruh eksternal yang tidak rasional, seperti dorongan emosional atau tekanan dari orang lain. Kebebasan positif juga menyiratkan kemampuan seseorang untuk bertindak secara otonom, memiliki kontrol atas hidup mereka, dan membuat pilihan yang secara aktif mengarah pada pencapaian cita-cita mereka.

Dalam filsafat kontemporer, kebebasan positif lebih sering merujuk pada kapasitas seseorang untuk mencapai tujuan dan aspirasi mereka. Misalnya, ketika kita mengatakan seekor burung "bebas untuk terbang," kita tidak hanya berarti bahwa tidak ada yang menghentikan burung tersebut, tetapi juga bahwa burung itu mampu terbang. Burung memiliki kekuatan fisik yang memungkinkannya untuk terbang, sementara manusia tidak. Jadi, kebebasan positif dalam konteks ini tidak hanya berarti tidak adanya hambatan, tetapi juga kehadiran kemampuan atau daya untuk melakukan sesuatu yang diinginkan.

Dengan kata lain, kebebasan positif lebih berkaitan dengan pengembangan potensi dan pemberdayaan individu untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Ini termasuk akses terhadap pendidikan, kesempatan ekonomi, dan dukungan sosial yang memungkinkan seseorang memiliki kekuatan untuk memilih dan bertindak sesuai dengan kehendaknya. Sebuah masyarakat yang mendukung kebebasan positif mungkin berfokus pada menciptakan kondisi yang memungkinkan warganya untuk berkembang dan mencapai kesejahteraan mereka, di luar sekadar menghindari campur tangan.

Konsep ini lebih terkait dengan gagasan tentang kontrol diri dan otonomi, di mana seseorang dianggap bebas jika mereka mampu menguasai diri mereka dan tidak dikuasai oleh dorongan eksternal, baik itu tekanan sosial atau kebutuhan ekonomi.

Dalam pandangan Berlin, kedua konsep ini tidak selalu berjalan seiring. Kebebasan negatif lebih mengutamakan pembatasan campur tangan, sementara kebebasan positif menekankan pada pemberdayaan individu. Perdebatan mengenai keseimbangan antara kebebasan negatif dan positif menjadi inti dalam diskusi tentang kebebasan politik, di mana beberapa negara mungkin lebih menekankan pada perlindungan kebebasan dari campur tangan (negatif), sementara yang lain berfokus pada pemberdayaan warganya untuk mencapai kebebasan yang lebih luas (positif).

Kebebasan positif, seperti yang didefinisikan sebelumnya, terkait erat dengan kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan dan menjalani hidup sesuai dengan kehendaknya. Dalam konteks ini, kekayaan memainkan peran penting, karena kekayaan memberikan sumber daya yang memungkinkan seseorang untuk memiliki pilihan lebih banyak dalam hidup. Filsuf politik Marxis Gerald Cohen mengungkapkan hubungan ini secara sederhana dengan mengatakan bahwa "Memiliki uang berarti memiliki kebebasan."

Cohen berpendapat bahwa uang, atau lebih tepatnya kekayaan yang diwujudkan dalam bentuk uang, berfungsi seperti tiket yang memberi seseorang akses ke berbagai peluang dan pengalaman di dunia. Semakin banyak kekayaan yang dimiliki seseorang, semakin besar kapasitas mereka untuk memilih dan melakukan hal-hal yang mereka inginkan, seperti pendidikan yang lebih baik, layanan kesehatan berkualitas, atau bahkan sekadar waktu luang untuk mengejar minat pribadi. Dalam hal ini, kekayaan memperluas pilihan dan daya seseorang, sehingga menambah kebebasan yang mereka miliki.

Sebagai contoh, seseorang yang memiliki kekayaan lebih besar mungkin lebih bebas untuk bepergian, memilih pekerjaan yang diinginkan, atau memperoleh pendidikan yang lebih baik, dibandingkan dengan orang yang memiliki kekayaan terbatas. Kekayaan tersebut memberikan mereka lebih banyak alat untuk mewujudkan cita-cita mereka dan menjalani kehidupan sesuai dengan tujuan dan preferensi pribadi.

Oleh karena itu, kebebasan positif, menurut Cohen, bukan hanya soal ketiadaan hambatan, tetapi juga soal akses terhadap sumber daya yang memungkinkan seseorang untuk mewujudkan kebebasannya secara nyata. Ini berarti bahwa semakin banyak kekayaan yang dimiliki seseorang, semakin banyak kebebasan yang ia miliki untuk mencapai potensi penuh dirinya, membuat keputusan yang lebih luas, dan memiliki kendali lebih besar atas hidupnya.

Isaiah Berlin dan banyak filsuf politik sezamannya menyadari bahwa dua konsep kebebasan—kebebasan negatif dan kebebasan positif—secara alami mengarah pada cita-cita politik yang berbeda. Kebebasan negatif, yang menekankan pada absennya campur tangan dari pihak luar, lebih sering dikaitkan dengan liberalisme klasik dan libertarianisme. Di sisi lain, kebebasan positif, yang berfokus pada kapasitas individu untuk mencapai tujuan, cenderung mendukung cita-cita politik yang lebih condong ke sosialisme dan negara yang aktif.

Liberal klasik dan libertarian berpendapat bahwa kebebasan positif, jika dianggap sebagai bentuk kebebasan sejati, akan membenarkan peran negara yang lebih besar dan ekspansif. Negara, dalam upaya memberikan kebebasan positif, mungkin akan merasa perlu untuk campur tangan dalam kehidupan warga, misalnya dengan redistribusi kekayaan, kontrol ekonomi, dan penyediaan layanan sosial. Mereka khawatir bahwa negara yang terlalu kuat bisa "memaksa kita untuk bebas," yaitu memaksakan kontrol atas individu atas nama memberikan kebebasan atau kesejahteraan, yang pada akhirnya justru mengurangi kebebasan negatif—kebebasan dari paksaan.

Sebaliknya, kaum Marxis dan sosialis menyambut konsep kebebasan positif dengan antusias. Mereka berpendapat bahwa kebebasan negatif saja—yang hanya menghindari campur tangan—tidak cukup berharga tanpa adanya kebebasan positif, yaitu jaminan bahwa setiap orang memiliki sumber daya yang memadai untuk menjalani kehidupan yang bermartabat. Kebebasan untuk melakukan sesuatu, menurut mereka, memerlukan lebih dari sekadar tidak ada campur tangan; itu memerlukan akses ke kekayaan dan sarana untuk mewujudkan kebebasan tersebut. Sosialisme, dengan redistribusi kekayaan dan kontrol ekonomi yang lebih merata, menjanjikan bahwa semua orang akan memiliki kekayaan dan kesempatan yang cukup untuk hidup dengan layak.

Para pendukung sosialisme mengklaim bahwa dalam ekonomi pasar bebas, kebebasan negatif sering hanya menjadi milik segelintir orang yang memiliki kekayaan besar, sementara sebagian besar masyarakat tetap terbatas oleh kemiskinan, kurangnya akses pendidikan, atau kesehatan. Oleh karena itu, menurut pandangan ini, sosialisme lebih unggul karena dapat menjamin setiap orang kebebasan positif, yaitu akses ke sumber daya yang diperlukan untuk menjalani kehidupan yang bermakna dan produktif. Ini adalah titik sentral dalam perdebatan ideologis antara dua konsep kebebasan ini: apakah kebebasan hanya soal tidak adanya paksaan, atau juga harus mencakup kemampuan nyata untuk mewujudkan kehidupan yang diinginkan.

Perdebatan ini pada akhirnya menjadi pertempuran ideologis yang mendalam antara model politik liberal yang lebih laissez-faire dan model sosialisme yang menuntut peran aktif negara dalam menciptakan kesetaraan substantif dan kebebasan positif bagi semua warganya.

Perdebatan panjang tentang makna istilah “liberty” dan “freedom” seringkali didasarkan pada asumsi bahwa kebebasan adalah sesuatu yang seharusnya dilindungi, dipromosikan, atau dijamin oleh pemerintah. Baik liberal klasik maupun sosialis umumnya menerima asumsi ini, sehingga perdebatan mereka tentang kebebasan sering berubah menjadi pertempuran ideologis mengenai bagaimana pemerintah seharusnya melindungi atau mengatur kebebasan tersebut. Misalnya, liberal klasik cenderung menekankan perlindungan kebebasan negatif, sementara sosialis lebih mempromosikan kebebasan positif melalui intervensi negara.

Namun, ada argumen bahwa seluruh perdebatan ini mungkin berakar pada kesalahan asumsi. Tidak ada alasan mutlak untuk berasumsi bahwa kebebasan secara otomatis harus dilihat sebagai sesuatu yang wajib dijamin oleh tindakan pemerintah. Asumsi ini, yang dianggap oleh banyak filsuf politik sebagai landasan, justru dapat memperumit pemahaman kita tentang kebebasan.

Pendekatan filosofis yang lebih tepat adalah dengan pertama-tama mengklarifikasi makna kebebasan itu sendiri sebelum memutuskan bagaimana kebebasan harus dilindungi atau dipromosikan. Ini berarti bahwa alih-alih langsung melibatkan diri dalam debat ideologis tentang peran pemerintah, kita harus lebih dulu memahami apa itu kebebasan secara objektif. Apakah kebebasan hanya berarti tidak adanya paksaan (kebebasan negatif), atau juga melibatkan kapasitas untuk bertindak dan mencapai tujuan (kebebasan positif)?

Setelah makna kebebasan diklarifikasi, kita bisa bertanya lebih lanjut tentang nilai apa yang terkandung dalam konsep kebebasan tersebut. Misalnya, apakah kebebasan memang sesuatu yang bernilai intrinsik, yang harus selalu diperjuangkan? Atau apakah kebebasan lebih bersifat instrumental, bernilai hanya sejauh ia membantu mewujudkan tujuan lain, seperti kesejahteraan atau keadilan?

Dengan demikian, perdebatan ideologis seharusnya bukan menjadi langkah pertama dalam memahami kebebasan. Langkah pertama adalah memahami dengan jelas apa yang dimaksud dengan kebebasan, dan kemudian mengeksplorasi nilai apa yang melekat dalam kebebasan itu. Barulah kita bisa menentukan peran pemerintah atau institusi lain dalam melindungi atau mempromosikan kebebasan tersebut.

Mendefinisikan "kebebasan" bukanlah tujuan akhir yang bertujuan untuk menyelesaikan perdebatan-perdebatan filosofis mengenai nilainya, melainkan langkah awal untuk memperjelas apa yang sebenarnya sedang diperdebatkan. Dengan definisi yang jelas, kita dapat lebih fokus pada esensi dari konsep kebebasan, yang pada gilirannya akan memperdalam dan memajukan diskusi tentang pentingnya kebebasan dalam kehidupan individu dan masyarakat.

Dalam perdebatan tentang kebebasan, setidaknya ada dua jenis nilai dasar yang dapat dimiliki oleh bentuk kebebasan apa pun:

1. Nilai Intrinsik

Kebebasan dianggap memiliki nilai intrinsik jika kebebasan itu sendiri dilihat sebagai sesuatu yang berharga secara mendasar, terlepas dari apa yang dihasilkannya. Dalam pandangan ini, kebebasan adalah sesuatu yang layak diperjuangkan dan dipertahankan hanya karena kebebasan itu sendiri bernilai. Contoh yang sering digunakan adalah hak untuk berekspresi. Seseorang mungkin menganggap kebebasan berbicara sebagai hal yang bernilai bukan hanya karena apa yang dikatakan dapat bermanfaat, tetapi karena hak untuk berbicara sendiri adalah bagian dari martabat manusia.

Dengan kata lain, dalam kerangka nilai intrinsik, kebebasan adalah tujuan itu sendiri, dan mempromosikannya berarti menghormati martabat, otonomi, dan kemanusiaan individu.

2. Nilai Instrumental

Kebebasan juga dapat memiliki nilai instrumental, yang berarti kebebasan bernilai sejauh ia membantu mencapai tujuan lain yang lebih berharga, seperti kesejahteraan, kemakmuran, atau kebahagiaan. Dalam hal ini, kebebasan bukanlah tujuan akhir, melainkan alat untuk mencapai hasil-hasil yang lebih baik dalam kehidupan. Misalnya, kebebasan untuk memilih pekerjaan mungkin bernilai bukan karena kebebasan itu sendiri, tetapi karena kebebasan ini memungkinkan individu untuk mencari pekerjaan yang memuaskan dan mendukung kesejahteraan ekonomi mereka.

Dalam konteks ini, kebebasan dinilai berdasarkan seberapa baik ia membantu mewujudkan hasil-hasil tertentu yang diinginkan, seperti kesejahteraan sosial atau pertumbuhan ekonomi. Kebebasan, dengan kata lain, adalah sarana untuk mencapai kebaikan lain yang lebih tinggi.

3. Kebebasan sebagai Nilai Gabungan

Dalam banyak kasus, kebebasan mungkin dianggap bernilai secara intrinsik dan secara instrumental. Contoh klasik adalah kebebasan berpendapat, yang dianggap intrinsik karena penting untuk otonomi pribadi dan martabat manusia, namun juga dianggap instrumental karena penting bagi terciptanya diskusi publik yang sehat, demokrasi yang stabil, dan inovasi intelektual.

Dengan mendefinisikan kebebasan secara lebih jelas dan memahami apakah kebebasan memiliki nilai intrinsik, instrumental, atau gabungan dari keduanya, kita dapat lebih baik mengarahkan perdebatan filosofis tentang pentingnya kebebasan dalam kehidupan sosial dan politik. Ini juga memungkinkan kita untuk mengevaluasi secara lebih kritis kebijakan dan tindakan yang melibatkan kebebasan, seperti batasan atau perlindungan yang diberikan oleh pemerintah.Mendefinisikan "kebebasan" bukanlah tujuan akhir yang bertujuan untuk menyelesaikan perdebatan-perdebatan filosofis mengenai nilainya, melainkan langkah awal untuk memperjelas apa yang sebenarnya sedang diperdebatkan. Dengan definisi yang jelas, kita dapat lebih fokus pada esensi dari konsep kebebasan, yang pada gilirannya akan memperdalam dan memajukan diskusi tentang pentingnya kebebasan dalam kehidupan individu dan masyarakat.

Ketika kita mengatakan bahwa kebebasan bernilai secara intrinsik, artinya kebebasan itu sendiri dianggap sebagai sesuatu yang berharga, terlepas dari hasil atau manfaat tambahan yang mungkin diperoleh dari kebebasan tersebut. Kebebasan dipandang sebagai tujuan akhir yang harus dihormati dan dipertahankan, bukan karena ia menghasilkan sesuatu yang lain, tetapi karena kebebasan itu sendiri memiliki nilai moral yang mendasar.

Sebagai contoh, kebebasan dari gangguan atau intervensi yang tidak diinginkan dapat dilihat sebagai sesuatu yang intrinsik, artinya, meskipun ketiadaan gangguan tersebut mungkin tidak menghasilkan hasil positif langsung, seperti peningkatan kebahagiaan atau kesejahteraan, tetap ada nilai moral dalam fakta bahwa orang-orang tidak diganggu atau dipaksa oleh orang lain. Dengan kata lain, kebebasan individu dihargai bukan hanya karena konsekuensinya, tetapi karena ia merupakan bagian dari martabat manusia yang perlu dihormati.

Banyak kaum liberal dan libertarian mendukung pandangan bahwa menghormati kebebasan secara intrinsik adalah cara untuk mengakui orang lain sebagai individu yang memiliki hak untuk membuat keputusan bagi diri mereka sendiri. Dalam pandangan ini, setiap orang memiliki otonomi moral dan adalah hal yang benar secara etis untuk memberikan mereka ruang kebebasan yang luas, di mana mereka dapat membuat keputusan dan hidup sesuai dengan kehendak mereka sendiri, bahkan jika keputusan tersebut mungkin tidak menghasilkan manfaat yang nyata.

Sebagai contoh, hak atas kebebasan berbicara dianggap bernilai karena menghormati hak ini adalah cara untuk menghargai martabat dan status moral individu sebagai tujuan itu sendiri, bukan sebagai alat untuk mencapai hasil lain. Seorang libertarian mungkin mengatakan bahwa saya harus menghormati kebebasan berbicara Anda, bahkan jika apa yang Anda katakan tidak memberikan manfaat nyata, tidak memperkaya diskusi publik, atau bahkan tidak relevan. Kebebasan berbicara Anda tetap dihargai karena menghormati hak Anda untuk berbicara merupakan pengakuan bahwa Anda adalah individu yang memiliki hak untuk menentukan jalannya sendiri tanpa paksaan atau intervensi dari orang lain.

Oleh karena itu, dalam pandangan ini, kebebasan pribadi adalah hal yang penting karena ia menghormati hak fundamental individu untuk mengendalikan hidup mereka sendiri, dan itulah yang dianggap sebagai nilai intrinsik kebebasan.

Dalam pemikiran moral berbasis akal sehat, kebebasan dipahami sebagai prinsip dasar yang mengatur interaksi sosial kita. Kita menganggap bahwa setiap orang berhak atas kebebasannya sendiri, dan tidak boleh diintervensi atau dipaksa oleh orang lain, bahkan jika intervensi itu dimaksudkan untuk kebaikan mereka sendiri. Prinsip-prinsip moral ini sederhana dan mendasar, tanpa memerlukan teori moral yang rumit. Kita tahu, misalnya, bahwa tidak boleh menyerang, mencuri, atau ikut campur dalam kehidupan orang lain tanpa alasan yang kuat.

Contohnya, jika seseorang merokok, saya tidak berhak untuk menepuk rokok itu dari mulut mereka, meskipun saya mungkin berpikir merokok merugikan kesehatan mereka. Saya juga tidak bisa memaksa mereka untuk membaca buku yang saya anggap baik untuk perkembangan intelektual mereka. Hal yang sama berlaku dalam situasi yang lebih serius: kita tidak boleh menculik seseorang dan memaksa mereka berperang melawan musuh kita, atau memaksa mereka untuk menjalankan urusan hidup mereka sesuai dengan cara yang kita anggap benar. Bahkan jika niatnya baik, kita tidak diizinkan untuk mengganggu kebebasan individu.

Prinsip-prinsip ini juga berlaku dalam konteks agama: kita tidak boleh memaksa orang untuk mengikuti agama tertentu atau mencegah mereka menyembah Tuhan sesuai keyakinan mereka, bahkan jika kita tidak setuju dengan agama mereka. Ini adalah bentuk penghormatan terhadap kebebasan individu, yang mengakui bahwa setiap orang berhak membuat pilihan moral dan kehidupan mereka sendiri tanpa campur tangan yang tidak diinginkan.

Bagi libertarian, prinsip-prinsip moral ini dianggap berlaku secara universal, termasuk dalam hubungan antara pemerintah dan warganya. Libertarian percaya bahwa pemerintah, sama seperti individu, tidak boleh ikut campur dalam kebebasan individu, kecuali untuk melindungi hak-hak dasar seperti keamanan dan properti. Mereka berpendapat bahwa pemerintah seharusnya tidak memaksakan kebaikan tertentu atau membatasi kebebasan pribadi atas nama tujuan yang lebih besar, karena ini akan melanggar prinsip moral bahwa setiap individu memiliki hak atas kebebasannya sendiri.

Namun, komunitarian dan kelompok lain berpendapat sebaliknya. Mereka percaya bahwa kebebasan individu perlu diimbangi dengan tanggung jawab sosial dan kepentingan komunitas. Bagi mereka, pemerintah memiliki peran penting dalam membentuk nilai-nilai bersama dan menjaga tatanan sosial, sehingga intervensi pemerintah dalam kehidupan pribadi kadang diperlukan demi kebaikan umum.

Perbedaan ini mencerminkan perdebatan ideologis tentang sejauh mana prinsip-prinsip moral berbasis akal sehat ini berlaku, dan bagaimana kebebasan individu seharusnya dilindungi atau diatur dalam masyarakat. Libertarian lebih condong pada perlindungan kebebasan individu dari campur tangan pemerintah, sementara komunitarian menekankan pentingnya keseimbangan antara kebebasan dan kepentingan sosial.

Mengatakan bahwa kebebasan memiliki nilai instrumental berarti bahwa kebebasan dianggap berharga karena ia cenderung menghasilkan hasil-hasil lain yang bernilai. Dalam pandangan ini, kebebasan bukanlah tujuan akhir itu sendiri, tetapi lebih merupakan sarana untuk mencapai tujuan lain yang diinginkan, seperti kemajuan ilmiah, kesejahteraan ekonomi, atau perkembangan sosial.

Salah satu tokoh yang berargumen bahwa kebebasan bernilai secara instrumental adalah ekonom dan filsuf abad ke-19, John Stuart Mill. Mill berpendapat bahwa kebebasan dalam hati nurani, pemikiran, dan gaya hidup berkontribusi pada kemajuan ilmiah dan sosial. Menurutnya, jika orang dibiarkan bebas untuk mengeksplorasi berbagai ide dan cara hidup, masyarakat akan lebih mudah menemukan solusi yang lebih baik untuk berbagai masalah. Ini karena kebebasan memungkinkan munculnya berbagai pandangan dan pendekatan yang berbeda, sehingga memungkinkan proses seleksi ide-ide terbaik dan inovasi. Dalam pandangan Mill, kebebasan ini mendorong eksperimen sosial dan intelektual yang menjadi landasan kemajuan manusia.

Selain itu, para ekonom sering berargumen bahwa kebebasan ekonomi—hak untuk membuat keputusan tentang bagaimana seseorang bekerja, berinvestasi, dan berdagang—bernilai karena dapat meningkatkan kesejahteraan material. Ketika individu bebas untuk berinovasi, berdagang, atau menciptakan usaha tanpa intervensi yang berlebihan, ekonomi cenderung lebih efisien dan produktif. Dengan memberikan orang kebebasan untuk mengambil risiko dan mencari peluang, masyarakat secara keseluruhan menjadi lebih makmur. Kebebasan ekonomi ini dianggap instrumental dalam menciptakan kemakmuran, karena ia mendorong pertumbuhan ekonomi, inovasi, dan kemajuan teknologi.

Dengan demikian, dalam perspektif instrumental, kebebasan dihargai karena hubungannya dengan hasil-hasil positif lainnya. Ia bukan hanya sesuatu yang dihormati demi kepentingannya sendiri (seperti dalam nilai intrinsik), tetapi karena kebebasan tersebut memungkinkan tercapainya tujuan lain yang diinginkan, seperti kemajuan intelektual, kesejahteraan ekonomi, dan kemakmuran sosial.

Menentukan apakah kebebasan bernilai secara intrinsik atau instrumental tidak secara otomatis menentukan seberapa besar nilai kebebasan itu. Dalam konteks ini, orang yang percaya bahwa kebebasan bernilai secara intrinsik—yakni sebagai tujuan akhir yang dihormati demi kepentingannya sendiri—tidak harus selalu menganggap kebebasan sebagai hal yang sangat penting atau prioritas utama. Sebaliknya, meskipun seseorang menganggap kebebasan sebagai tujuan, mereka mungkin berpikir bahwa kebebasan hanyalah salah satu dari banyak tujuan lain, dan tidak selalu lebih penting daripada tujuan lainnya.

Sebaliknya, orang yang memandang kebebasan sebagai sesuatu yang instrumental—yakni sebagai alat untuk mencapai tujuan lain—tidak berarti meremehkan pentingnya kebebasan. Justru, mereka bisa berargumen bahwa kebebasan sangat penting karena perannya dalam mencapai hasil-hasil lain yang sangat diinginkan, seperti kesejahteraan ekonomi, kemajuan ilmu pengetahuan, atau kebahagiaan individu. Sebagai contoh, oksigen tidak dianggap sebagai tujuan akhir dalam hidup kita, tetapi nilai instrumentalnya sangat tinggi karena tanpa oksigen kita tidak bisa hidup. Dengan demikian, meskipun oksigen hanya merupakan sarana, ia sangat esensial dan lebih berharga daripada banyak hal lain yang mungkin kita anggap sebagai tujuan.

Dalam perbandingan ini, seseorang yang berpikir bahwa kebebasan hanya bernilai secara instrumental dapat menganggap kebebasan sebagai sesuatu yang sangat penting karena tanpa kebebasan, banyak tujuan lain yang diinginkan tidak akan tercapai. Di sisi lain, seseorang yang berpikir bahwa kebebasan bernilai secara intrinsik mungkin menganggapnya penting tetapi tidak seberapa signifikan dibandingkan nilai-nilai lain yang ada. Jadi, nilai kebebasan dalam kedua pandangan ini bisa bervariasi tergantung pada bagaimana seseorang menilai signifikansi kebebasan dalam konteks kehidupan dan pencapaian tujuan-tujuan lainnya.

Jika kita menerima argumen kaum sosialis bahwa kekuatan untuk mencapai tujuan pribadi adalah jenis kebebasan yang penting, dan bahwa kekayaan memungkinkan seseorang memperoleh kebebasan semacam ini, kita masih bisa mendukung kapitalisme dibanding sosialisme. Ini bukan hanya soal teori, tetapi juga masalah empiris yang bisa diukur secara ilmiah: sistem ekonomi mana yang lebih baik dalam mempromosikan dan melindungi kebebasan semacam ini?

Kapitalisme, dengan mekanisme perdagangan bebas, kepemilikan pribadi, dan ekonomi pasar, umumnya diklaim oleh para ekonom sebagai sistem yang efektif dalam mendorong kebebasan positif. Dalam sistem pasar bebas, individu memiliki kebebasan untuk mengejar tujuan mereka—baik itu melalui usaha bisnis, inovasi, atau investasi. Pasar menyediakan peluang bagi individu untuk mengambil inisiatif, bersaing, dan mendapatkan imbalan finansial yang memungkinkan mereka mencapai lebih banyak tujuan dalam hidup.

Buku teks ekonomi standar seringkali berargumen bahwa kapitalisme memungkinkan kebebasan positif lebih luas karena individu memiliki kendali lebih besar atas sumber daya mereka, dan dengan demikian dapat menentukan jalan hidup mereka sendiri. Dalam sistem ini, kekayaan pribadi tidak hanya menciptakan kebebasan ekonomi, tetapi juga memungkinkan akses ke berbagai peluang sosial, pendidikan, dan budaya.

Di sisi lain, argumen umum melawan sosialisme adalah bahwa meskipun sosialisme sering mengklaim untuk mempromosikan kebebasan positif dengan memastikan redistribusi kekayaan yang adil, dalam praktiknya sosialisme justru membatasi kebebasan. Kebijakan kontrol negara yang ketat terhadap sumber daya dan pengambilan keputusan ekonomi cenderung mengurangi inisiatif individu dan kebebasan untuk menentukan jalan hidup sendiri. Dalam sistem di mana negara memiliki kontrol besar, pilihan individu seringkali dibatasi oleh peraturan dan kebijakan negara yang memprioritaskan kolektif di atas kebebasan individu.

Meskipun sosialis berpendapat bahwa sosialisme idealnya meningkatkan kebebasan positif melalui distribusi kekayaan yang adil, ini tidak berarti bahwa sosialisme dalam praktiknya memberikan banyak kebebasan positif. Negara yang terlalu dominan dalam ekonomi dapat membatasi otonomi individu, menghambat kreativitas, dan mempersulit pencapaian tujuan pribadi.

Kesimpulannya, meskipun kita mengakui pentingnya kebebasan positif dan peran kekayaan dalam mendukung kebebasan ini, kita tetap bisa memilih kapitalisme sebagai sistem ekonomi yang lebih baik untuk mempromosikan kebebasan. Ini karena kapitalisme secara empiris dianggap memberikan lebih banyak ruang bagi individu untuk mengendalikan sumber daya mereka dan mengejar tujuan hidup mereka dibandingkan sosialisme yang mungkin cenderung membatasi kebebasan individu melalui kontrol negara yang berlebihan.

Perselisihan antara seorang kapitalis laissez-faire dan seorang sosialis bisa jadi tidak terletak pada nilai-nilai moral atau filosofis yang mereka anut, melainkan lebih pada perbedaan dalam pemahaman empiris tentang bagaimana dunia berfungsi dan cara-cara yang paling efektif untuk mencapai tujuan bersama.

Kedua pihak mungkin sepakat tentang nilai-nilai yang mendasari kebebasan, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat. Mereka mungkin berbagi pandangan bahwa semua orang berhak memiliki kesempatan untuk mengejar kehidupan yang baik, meraih tujuan mereka, dan hidup dalam masyarakat yang adil. Namun, pandangan mereka tentang bagaimana cara mencapai nilai-nilai tersebut sangat berbeda.

1. Klaim Empiris tentang Ekonomi

a. Kapitalis Laissez-Faire

 Mereka berargumen bahwa sistem pasar bebas, tanpa intervensi pemerintah, adalah cara terbaik untuk mencapai efisiensi ekonomi dan inovasi. Dalam pandangan mereka, ketika individu diberi kebebasan untuk berbisnis, bersaing, dan mengambil keputusan ekonomi, hasilnya adalah pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

b. Sosialis

Di sisi lain, sosialis berpendapat bahwa pasar bebas tanpa regulasi dapat menyebabkan ketidakadilan, eksploitasi, dan kesenjangan yang semakin besar antara kaya dan miskin. Mereka mungkin mengklaim bahwa intervensi pemerintah diperlukan untuk mengatur pasar, memastikan distribusi yang adil, dan menjamin bahwa semua orang memiliki akses yang sama terhadap sumber daya dan peluang.

2. Persepsi tentang Kebebasan

a. Kapitalis

Mereka percaya bahwa kebebasan individu untuk mengambil risiko dan mengelola sumber daya sendiri adalah yang paling penting. Mereka berargumen bahwa tanpa kebebasan ini, individu tidak dapat mencapai potensi penuh mereka.

b. Sosialis

 Mereka mungkin berpendapat bahwa kebebasan positif yang berarti—kekuatan untuk mencapai tujuan—dapat lebih baik dipenuhi dalam sistem yang lebih terencana dan teratur, di mana semua orang dijamin akses terhadap kebutuhan dasar dan kesempatan.

3. Pendekatan Terhadap Nilai-nilai Sosial

 Meskipun kedua pihak setuju bahwa masyarakat seharusnya adil dan sejahtera, mereka berdebat tentang cara terbaik untuk mencapainya. Perselisihan ini bukan tentang apakah keadilan atau kesejahteraan itu baik atau buruk, tetapi tentang bagaimana struktur sosial dan ekonomi dapat disusun untuk mencapai hasil yang diinginkan.

Dalam hal ini, perdebatan antara kapitalis dan sosialis sering kali bersifat teknis dan empiris. Mereka tidak hanya berbeda dalam pendekatan filosofis, tetapi juga dalam keyakinan mereka mengenai realitas praktis sistem ekonomi dan sosial yang berbeda. Setiap pihak membawa bukti dan argumen tentang apa yang mereka anggap sebagai mekanisme yang paling efektif untuk mencapai nilai-nilai yang sama, dan ini sering kali mengarah pada perdebatan yang panjang dan kompleks.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun