Maya mengangguk, wajahnya penuh kekhawatiran. "Hati-hati, Raka. Jangan nekat."
Warung kopi tempat biasa mereka bertemu tampak sepi. Anton sudah duduk di pojok, wajahnya tegang.
"Cepat masuk, Rak," bisik Anton sambil melirik ke sekeliling. "Gue punya data real count yang janggal. Suara di beberapa TPS dialihkan ke kandidat lain."
Raka terperangah. "Maksud lo manipulasi data?"
Anton mengeluarkan flashdisk kecil dari saku bajunya. "Ini bukti. Data ini bocor dari orang dalam KPU. Gue percaya lo bisa ngungkapin ini ke publik."
Raka menerima flashdisk tersebut dengan tangan gemetar. "Ini bahaya, Ton. Lo yakin mau ngasih ini ke gue?"
Anton menatap Raka dengan tatapan tajam. "Ada kalanya kebenaran itu lebih penting daripada keselamatan sendiri. Lo berani, Rak?"
Raka mengepalkan tangannya. Ketakutan bercampur dengan rasa tanggung jawab sebagai jurnalis. Dia tahu ini bisa menjadi berita yang menggemparkan, tapi juga bisa membahayakan dirinya dan orang-orang di sekitarnya.
"Gue berani," jawab Raka mantap. "Tapi kita harus hati-hati."
Malam itu, di bawah keremangan lampu neon warung kopi, dua insan yang tak saling kenal itu bersatu untuk mengungkap kebenaran di balik real count yang janggal. Mereka tahu, perjuangan mereka baru saja dimulai, dan jalan yang terbentang di depan penuh dengan risiko dan ketegangan.
Bab 2: Jejak Digital dan Ancaman