Inkonsistensi dalam konteks ini berarti ketidaksesuaian antara pernyataan atau tindakan yang sebelumnya dinyatakan atau diambil dengan yang baru, tanpa penjelasan atau alasan yang jelas.
Namun demikian, ada kemungkinan bahwa perubahan sikap ini juga dapat dipandang sebagai strategi politik yang disengaja. Sebagai seorang pemimpin, Jokowi mungkin menghadapi tekanan politik dan tuntutan dari berbagai pihak yang ingin melibatkan kepala negara dalam proses politik mereka.Â
Dalam mengambil keputusan, dia mungkin mempertimbangkan faktor-faktor politik, seperti opini publik, dukungan politik, atau hubungan dengan partai politik tertentu.
Dalam konteks ini, pernyataan terbaru Jokowi dapat dianggap sebagai upaya untuk mempertahankan atau memperluas basis politiknya dengan mengakomodasi kepentingan kelompok atau partai tertentu yang mendukung partisipasi aktif presiden dan wakil presiden dalam kampanye politik.Â
Tentu saja, apakah perubahan sikap Jokowi ini merupakan bentuk inkonsistensi atau strategi politik, hal itu akan tergantung pada sudut pandang individu dan analisis lebih lanjut mengenai konteks politik yang lebih luas.
Beberapa poin penting terkait polemik ini:Â
1. Pernyataan Jokowi yang berubah-ubah: Pada 1 November 2023, Jokowi menegaskan netralitas presiden dan wakil presiden.Â
Namun, pada 24 Januari 2024, ia menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden boleh mengikuti kampanye, asalkan tidak memakai fasilitas negara tertera pada UU No. 7 Tahun 2017 pasal 299 dan pasal 281.
Perubahan sikap yang ditunjukkan oleh Presiden Jokowi dalam periode yang disebutkan telah menarik perhatian publik dan menimbulkan pertanyaan tentang konsistensi dan komitmen politiknya.Â
Pada tanggal 1 November 2023, Jokowi menegaskan prinsip netralitas presiden dan wakil presiden, menekankan pentingnya bagi kepala negara dan wakilnya untuk tidak terlibat secara aktif dalam proses politik, terutama selama periode pemilihan umum.