Mohon tunggu...
El Sabath
El Sabath Mohon Tunggu... Lainnya - Pengamat Sosial Fenomena

"Akar sosial adalah masyarakat dan kajemukan, dan "Fenomena Sosial Di dasarkan pada gambaran nilai normatif Individu, terhadap ruang interaktif relasi sosial, hal yang mendasar adalah sosial sebagai fenomena individu yang tidak terlepas dari sumberdaya, yang relatif dan filosofis, dan apakah ranah sosial adalah sesuatu yang sesuai makna filosofis, atau justru gambaran dari kehampaan semata, yang tidak dapat di ukur sikap atau ruang lingkup sosialkah, yang berarti suatu ilutrasi pamplet kekacauan revolusi massa, atau komunisme historis dalam sejarah pergerakan politik?"

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Dari "Aufu bil 'Uqud" Hingga, Kepada Rijsun Min 'Amali Syiton - Najis "Ghairu Jasadi"

31 Oktober 2024   17:03 Diperbarui: 31 Oktober 2024   18:39 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
detikcom. Ilustrasi - Penyakit Hati Di Dalam Islam.

1. Shalat memerlukan kesadaran penuh untuk mencapai khusyu'
2. Hilangnya akal menempatkan seseorang dalam kondisi yang berlawanan dengan tujuan shalat
3. Kondisi ini merupakan manifestasi dari "rijsun" yang disebutkan dalam Al-Quran
4. Sebagai perbuatan setan, ia bertentangan dengan kesucian yang menjadi prasyarat shalat

Lebih jauh, hilangnya akal - terutama yang disengaja seperti melalui konsumsi khamr - tidak hanya membatalkan shalat yang sedang dikerjakan, tetapi juga mencegah sahnya shalat selama kondisi tersebut berlangsung. Ini menunjukkan betapa seriusnya Islam memandang kesucian akal dalam konteks ibadah.

Implikasi dari pemahaman ini sangat penting dalam konteks contemporary:
- Menjaga akal menjadi kewajiban yang tak terpisahkan dari kewajiban shalat
- Segala bentuk aktivitas yang dapat menghilangkan akal harus dihindari
- Kesadaran spiritual harus dijaga sebagai bagian dari kesucian ibadah

Konsep "rijsun min 'amali syaiton" dalam konteks hilangnya akal dan batalnya shalat memberikan pemahaman komprehensif tentang bagaimana Islam memandang kesucian tidak hanya dalam dimensi material, tetapi juga spiritual. Ia menjadi pengingat bahwa ibadah dalam Islam menuntut integritas total - fisik, mental, dan spiritual - sebagai manifestasi pengabdian kepada Allah SWT. Pada akhirnya, memahami najis besar dalam konteks hilangnya akal sebagai "rijsun min 'amali syaiton" membantu kita menyadari bahwa kesucian dalam ibadah bukan sekadar ritual pembersihan fisik, melainkan mencakup pemeliharaan kesucian spiritual yang komprehensif, di mana akal yang sehat menjadi komponen vital dalam mencapai kesempurnaan ibadah.

V. 

Najis "Ghairu Jasadi": Perspektif Qiyas dan Pandangan Ulama dalam Konteks Kesucian Ibadah.

Dalam khazanah fiqih Islam, diskursus tentang najis telah mengalami perkembangan yang signifikan sejak masa awal Islam hingga era kontemporer. Para ulama, dengan kedalaman pemahaman mereka terhadap nash dan metodologi istinbath hukum, telah memberikan kontribusi besar dalam memahami konsep najis yang melampaui dimensi fisik semata. Imam Al-Ghazali, dalam kitabnya "Ihya Ulumuddin", memberikan perspektif mendalam tentang konsep najis ma'nawi atau "ghairu jasadi". Beliau menegaskan bahwa kesucian spiritual memiliki kedudukan yang tak kalah penting dibanding kesucian fisik. Dalam pandangannya, kondisi hati dan akal yang tercemar dapat menjadi penghalang yang lebih serius dalam mencapai kesempurnaan ibadah dibanding najis fisik yang kasat mata. "Ketahuilah bahwa najis hati lebih berbahaya dari najis yang nampak di pakaian. Sebab najis pakaian hanya menghalangi sahnya shalat, sementara najis hati menghalangi kedekatan dengan Allah," demikian ungkap Al-Ghazali.

Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, dalam "Madarijus Salikin", memperkuat perspektif ini dengan menjelaskan bahwa konsep "rijsun" yang disebutkan dalam Al-Quran memiliki makna yang lebih luas dari sekadar kotoran fisik. Beliau menguraikan bagaimana perbuatan-perbuatan yang digolongkan sebagai "min 'amali syaiton" membawa najis spiritual yang dapat mengontaminasi kesucian jiwa dan akal. Dalam konteks qiyas, Imam Asy-Syafi'i telah meletakkan dasar-dasar metodologis yang kokoh untuk memahami perluasan makna najis. Melalui pendekatan 'illat (alasan hukum) dan persamaan sifat, beliau membuka jalan bagi pemahaman yang lebih komprehensif tentang najis "ghairu jasadi". Imam An-Nawawi, dalam "Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab", memberikan analisis detail tentang hal-hal yang membatalkan shalat, termasuk hilangnya akal yang dikategorikan sebagai najis ma'nawi. Beliau menjelaskan bahwa kehadiran akal merupakan syarat fundamental dalam ibadah, karena tanpanya, maksud dan tujuan ibadah tidak dapat tercapai.

"Sesungguhnya shalat adalah komunikasi dengan Allah, dan hal ini tidak mungkin tercapai tanpa kehadiran akal yang sehat," demikian dijelaskan dalam Al-Majmu'. Dalam perspektif kontemporer, Syeikh Wahbah Az-Zuhaili dalam "Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu" mengembangkan pemahaman ini lebih jauh dengan mengaitkannya dengan realitas modern. Beliau menjelaskan bagaimana zat-zat yang mempengaruhi kesadaran, termasuk narkotika dan zat-zat psikoaktif modern, dapat dikategorikan sebagai pembawa najis ma'nawi yang membatalkan ibadah. Di sisi lain, Syeikh Yusuf Al-Qaradhawi memberikan perspektif maqashid syariah dalam memahami najis "ghairu jasadi". Beliau menekankan bahwa pemeliharaan akal (hifdz al-'aql) sebagai salah satu tujuan utama syariah berkaitan erat dengan konsep kesucian dalam ibadah. Para ulama kontemporer seperti Muhammad Az-Zuhaili juga memberikan kontribusi penting dalam mengembangkan pemahaman tentang najis ma'nawi dalam konteks modern. Mereka menjelaskan bagaimana kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membuka pemahaman baru tentang zat-zat dan kondisi yang dapat mengontaminasi kesucian spiritual.

Konvergensi pandangan ulama klasik dan kontemporer ini menunjukkan bahwa konsep najis "ghairu jasadi" memiliki akar yang kuat dalam tradisi fiqih Islam. Melalui metodologi qiyas dan pemahaman mendalam terhadap maqashid syariah, para ulama telah membangun framework yang komprehensif untuk memahami dan menerapkan konsep najis dalam berbagai konteks. Implikasi dari pemahaman ini sangat signifikan dalam kehidupan Muslim kontemporer. Pertama, ia menegaskan pentingnya menjaga kesucian holistik - baik jasadi maupun ma'nawi. Kedua, ia memberikan panduan praktis dalam menghadapi tantangan modern yang dapat mengancam kesucian spiritual. Ketiga, ia memperkaya khazanah fiqih dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang hubungan antara kesucian, ibadah, dan kehidupan modern. Kesimpulannya, kategorisasi najis melalui pendekatan qiyas komparatif, yang diperkuat dengan pandangan para ulama dari berbagai masa, memberikan pemahaman yang komprehensif tentang konsep najis dalam Islam. Pemahaman ini tidak hanya relevan untuk konteks ibadah formal, tetapi juga memberikan framework penting dalam menjaga kesucian spiritual di era modern.

VI. Najis "Ghairu Jasadi" dalam Mu'amalah: Perspektif Syariah dan Implementasi Sosial.

Dalam khazanah pemikiran Islam, konsep kesucian tidak hanya terbatas pada dimensi ritual ibadah semata, tetapi menjangkau seluruh spektrum kehidupan sosial manusia. Para ulama, dengan kedalaman pemahaman mereka terhadap maqashid syariah, telah mengembangkan framework komprehensif tentang bagaimana konsep najis "ghairu jasadi" berimplikasi dalam ranah mu'amalah dan kehidupan sosial.

Imam Al-Ghazali, dalam magnum opus-nya "Ihya Ulumuddin", memberikan perspektif mendalam tentang bagaimana kesucian spiritual harus tercermin dalam interaksi sosial. Beliau menulis: "Ketahuilah bahwa kebersihan harta dan mu'amalah lebih sulit dijaga daripada kebersihan badan dalam shalat. Sebab, najis yang nampak dapat dibersihkan dengan air, sementara najis mu'amalah memerlukan pemahaman mendalam tentang halal dan haram, serta ketelitian dalam menjalankannya."

Senada dengan Al-Ghazali, Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan makna lebih luas dari "rijsun" dalam konteks sosial. Beliau menguraikan bagaimana transaksi ekonomi yang mengandung unsur riba, gharar, atau eksploitasi termasuk dalam kategori "rijsun min 'amali syaiton" yang harus dihindari dalam kehidupan bermasyarakat. Ibn Taimiyyah, dalam "Al-Hisbah fil Islam", memberikan framework praktis tentang pengawasan pasar dan aktivitas ekonomi. Beliau menekankan bahwa peran muhtasib (pengawas pasar) tidak hanya menjaga aspek fisik perdagangan, tetapi juga dimensi moral dan spiritual transaksi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun