2. Aplikasi Qiyas dalam Masalah Kontemporer.
Syeikh Wahbah Al-Zuhaili dalam "Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu" mengembangkan metode penerapan qiyas untuk masalah-masalah modern terkait thaharah: 1. Identifikasi 'illat hukum, 2. Verifikasi kesesuaian, 3. Analisis dampak, 4. Pertimbangan maslahah. Pemahaman metodologis terhadap klasifikasi najis dan konsep kesucian dalam Islam memerlukan pendekatan komprehensif yang memadukan antara nash, qiyas, dan pertimbangan maslahah. Pendekatan ini memungkinkan adaptasi hukum Islam terhadap berbagai konteks dan situasi kontemporer sambil tetap menjaga prinsip-prinsip dasar syariat.
B. Batalnya Shalat.
Di dalam, menjelaskan, tentang batalnya shalat terkait dengan kondisi hilangnya akal dalam konteks fikih Islam:
Dianatara lain, diketahui sebagai berikut, illat, atau landasan argumentasi dalam berdasarkan dalil baik aqly, maupun naqly, atau nash (teks) yakni, perkara sebagai berikut, :
1. Hilangnya akal (termasuk karena khamar/minuman keras) membatalkan shalat karena:Â - Hilangnya kesadaran dan kemampuan niat - Tidak mampu memahami dan melaksanakan rukun shalat - Tidak bisa membedakan hal yang benar dan salah.
2. Dalam konteks baligh (kedewasaan):Â - Anak yang belum baligh belum dibebankan kewajiban shalat,- Berbeda dengan orang yang kehilangan akal karena khamar yang awalnya sudah mukallaf (terkena beban hukum), - Hilangnya akal karena khamar termasuk perbuatan yang diharamkan.
3. Perbedaan utamanya:Â - Anak yang belum baligh: belum ada taklif (pembebanan hukum), - Pemabuk: sudah ada taklif tapi sengaja menghilangkan akalnya.
4. Pendapat ulama:Â - Jumhur ulama: Shalat dalam kondisi mabuk tidak sah, - Berdasarkan QS. An-Nisa: 43 tentang larangan shalat dalam keadaan mabuk, - Wajib mengqadha shalat yang ditinggalkan saat mabuk.
5. Hikmahnya:Â - Menjaga kesucian dan kekhusyukan ibadah, - Mencegah perbuatan yang merusak akal,- Mendorong kesadaran dan tanggungjawab dalam beribadah. Jadi meski sama-sama terkait hilangnya akal, konteks anak yang belum baligh berbeda dengan hilangnya akal karena khamar dari segi hukum dan konsekuensinya.
IV.Â
Najis Spiritual dan Batalnya Shalat: Sebuah Telaah atas Konsep "Rijsun min 'Amali Syaiton".
Dalam khazanah fiqih Islam, konsep kesucian (thaharah) menempati posisi fundamental sebagai syarat sahnya ibadah, khususnya shalat. Di antara diskursus yang menarik adalah bagaimana memahami najis besar dalam konteks hilangnya akal, yang dalam Al-Quran diidentifikasi sebagai "rijsun min 'amali syaiton" (perbuatan keji dari amalan setan).
Ketika kita berbicara tentang najis, umumnya pemahaman kita tertuju pada najis yang bersifat material ('ainiyah). Namun, Islam memberikan perspektif yang lebih dalam tentang najis spiritual (ma'nawiyah) yang tak kalah pentingnya dalam konteks ibadah. Hilangnya akal - baik disengaja maupun tidak - merupakan bentuk najis spiritual yang dapat membatalkan shalat.
Mengapa hilangnya akal dikategorikan sebagai najis besar? Al-Quran dalam Surah Al-Maidah ayat 90 memberikan fondasi konseptual yang kuat. Ketika Allah SWT menyebut khamr (yang menyebabkan hilangnya akal) sebagai "rijsun" dan menghubungkannya dengan "min 'amali syaiton", ini menunjukkan bahwa ada dimensi spiritual yang terkontaminasi. Hilangnya akal bukan sekadar ketidakmampuan berpikir secara temporer, melainkan suatu kondisi yang menodai kesucian spiritual manusia.
Dalam konteks ibadah shalat, kesucian tidak hanya dimaknai dalam dimensi fisik seperti wudhu atau bebas dari najis pada pakaian dan tempat shalat. Ada dimensi spiritual yang harus dijaga, yaitu kesucian akal sebagai instrumen utama dalam memahami dan menghayati ibadah. Ketika akal hilang, maka esensi shalat sebagai medium komunikasi spiritual dengan Allah SWT menjadi terputus.
Para ulama menjelaskan bahwa batalnya shalat karena hilangnya akal berkaitan erat dengan konsep "rijsun min 'amali syaiton". Argumennya: