Tahun demi tahun berganti masa dan rupaÂ
Tak buatmu beda warna jiwa
Tak merubahmu memoles rasa indahÂ
Semua tak bergeming dari start awal kehidupan
Kacamatamu tetap bekas kuda yang tak beda sudut pandang
Lurus dan tak mengerti arti perbedaan
Sejurus memandang hanya itu yang kau anggap benar
Adakah kau tahu itu  buatku jengah
Maka yang tampak di matamu adalah kebenaran semu
Semua warna jadi putih dan abu-abu
Kau tak kenal hakekat cinta dalam nuansa senja
Bagimu kelengkapan itu tak tersedia
Saat buliran air mata menumpah dalam 9 mangkok beragam rupa
Mengais rasa kasihan , kehormatan dan cinta
Menuding  jingga  dan ungu menjadi hanya abu-abu dan hitam kelam
Menepisakan sosok yang beringsut mencari makna
Kamu tegak berdiri, menantang angin
Kau biarkan mentari tak berikan vitamin
Kau telantarkan angin berikan oksigen
Kau hinakan hujan sia-siakan romantisme alam
Mungkin sudah saatnya aku harus bicara
Agar kau tak telan semua badai dan rupa kecewa
Agar tak selalu kau anggap jalan itu satu arah saja
Supaya engkau sadar, hujan bisa jadi air untuk kita minum
Ada saatnya debu tak sisakan kotoran
Ada masanya tayammum butuh tempat berlindung
Dari najis dan semua noktah tak berupa dan bentuk
Dari belenggu prasangka yang tak pernah kau lepas
Mestinya seiring waktu kau berubah
Ganti bajumu dan juga poles bibirmu
Basuh mukamu dan lap jiwamu
Agar segar saat kau menghadapNya
Lengkapi pula lubang yang sempat sobek oleh tanganmu
Dengan benang yang sudah kupersiapkan dari dulu
Walau kau tak pernah lirik bahwa aku bisa menambalnya
Membuatnya lebih indah dari sekedar tambalan usang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H