Kami melongo saja mendengar cerita itu dari anak-anak. Akhirnya si sulung pun kami minta balik lagi ke rumah Ma Nung untuk mengajaknya kembali bekerja.
Senin pagi, Ma Nung datang. Senyum-senyum mengklarifikasi. Di hari rabu saat kami guyonan, ia merasa kami sedang merencanakan memberhentikan beliau.
Sewaktu anggota keluarga beliau terkena Covid-19, sebenarnya kami memintanya untuk tes antigen sebelum datang kembali ke rumah. Tetapi Ma Nung memutuskan untuk ikut isolasi mandiri.
Awalnya untuk menopang perekonomian rumah tangganya, kami mengirimkan uang gaji mingguan walaupun beliau tidak bekerja. Minggu berikutnya kami mengirimkan uang untuk keperluan tes antigen.
Karena belum hadir juga, pagi itu istri mengirim pesan melalui WA. Saya mewanti-wanti untuk menggunakan bahasa yang tepat.Â
Dalam balasannya, Ma Nung menjawab ingin mendampingi keluarganya terlebih dahulu.
Ma Nung tidak mau tes antigen karena jika nanti diketahui hasilnya positif akan berimbas ke mana-mana. Melalui pesan balasan, Ma Nung mempersilakan kami mencari ganti beliau.
Minggu ketiga Ma Nung belum hadir juga. Ternyata ia sudah pasrah, kami telah memberhentikannya.Â
Benar dugaan saya, ada miskomunikasi dalam menafsirkan bahasa pesan. Ya, akhirnya istri mengalah, mendatangi rumahnya untuk mempersilakan bekerja lagi.
Dulu sekali, suaminya sempat menjadi pengantar anak kami pergi pulang sekolah. Mungkin saat itu sedang naas, mobil yang dikendarainya menabrak pintu gerbang rumah.Â
Ada cerita dari tetangga jika suaminya saat itu menangis dan menunggu mobil seharian di rumah. Tujuannya agar bisa bertemu kami dan meminta maaf. Ma Nung lagi-lagi sensitif merasa akan diberhentikan.