Orang-orang memanggilnya Yai Usman. Nama lengkapnya, Usman Labib. Pria kelahiran Magetan, tamatan Pendidikan Guru Agama (PGA). Cita-citanya untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi kandas. Orang tuanya tak mampu lagi membiayai. Jangankan kuliah, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sering tak cukup.
Kehidupan Yai Usman jauh dari kemewahan, namun begitu sarat dengan keteladanan. Bersama istrinya yang lembut dan keenam anak mereka, Yai Usman menjalani hari-hari penuh keberkahan. Keluarga itu tetap terasa hangat oleh suasana cinta dan doa.
Rumah yang ditempati Yai Usman dulu milik seorang pegawai KAI. Tidak terlalu lebar, tetapi memanjang. Di bagian belakang, dia pakai untuk memproduksi tahu. Karena lama tak pernah ada perbaikan, banyak dinding temboknya terlihat melepuh dan dipenuhi debu.
Saban pagi, Yai Usman bangun untuk salat tahajud. Dengan suara lembut, ia membangunkan anak-anaknya untuk ikut berdoa bersama. Setelah itu, ia mulai menyiapkan gerobak kecilnya. Di atas gerobak itu, bertumpuk tahu segar hasil olahan sendiri. Meski sederhana, tahu buatan Yai Usman lumayan terkenal karena rasa dan kualitasnya.
Selepas salat subuh di masjid, Yai Usman mengayuh gerobaknya menuju pasar krempyeng. Kehidupan di pasar kecil itu selalu penuh cerita, dari tawar-menawar yang hangat hingga tawa para pedagang.
Yai Usman selalu punya cara untuk menjaga kesederhanaannya. Ia tak pernah menaikkan harga seenaknya, meski tahu pelanggan setianya tak akan keberatan membayar lebih.
Suatu pagi, ketika dagangannya hampir habis, tinggal dua bungkus tahu tersisa di gerobaknya. Dua bungkus tahu itu sengaja tidak dijual. Sudah dipesan Bu Zulaichah, pelanggan lamanya.
Ketika matahari makin menanjak tinggi, Bu Zulaichah tak jua datang. Beberapa orang yang menghmpiri bedaknya bernit membeli dua bungkus tahub yang tersisa itu. Namun. Yai Usman tak bisa mengabulkannya.
"Yai, tahu masih ada? Lha ini tinggal dua bungkus, ya. Saya beli, ya," ucap Bu Karsini, pelanggannya, dengan nada mendesak.
Yai Usman tersenyum lembut. "Maaf, Bu Karsini. Dua bungkus tahu ini sudah dipesan Bu Zulaichah. Orangnya masih ada perlu, sebentar lagi kembali."
Karsini mengerutkan dahi. "Ah, bilang saja ke Bu Zulaichah kalau tahunya sudah habis. Dia kan belum datang-datang. Belum bayar juga, kan? Aku yang lebih butuh sekarang, Yai!"
"Saya lebihi harganya!"
Dengan tenang, Yai Usman menjawab, "Maaf, Bu. Amanah harus saya jaga. Kalau panjenengan mau, besok saya siapkan tahu lebih untuk panjenengan."
Bu Karsini menghela napas. Dia lalu ngeloyor pergi, diselimuti rona penuh kekecewaan.
Melihat itu, Yai Usman tetap tersenyum sambil merekatkan kedua telapak tangannya di dada. "Maaf nggih, Bu," ucap Yai Usman.
Ketika Bu Zulaichah datang beberapa saat kemudian, Yai Usman terlihat lega saat menyerahkan tahu pesanannya. Bu Zulaichah mengambil uang. Dia sengaja memberi lebih sebagai hadiah. Namun, Yai Usman dengan halus menolaknya.
"Ini saja, Bu, sesuai harganya. Matur nuwun."
***
Setelah semua urusan di pasar selesai, Yai Usman pulang dengan hati tenang. Malam hari, seperti biasa, Yai Usman menghitung keuangan usahanya. Yai Usman sengaja tak menaruh uangnya sepeser pun di bank. Terkesan konvensional memang, tapi dia merasa tenang bisa menyimpan uangnya sendiri.
Yai Usman memiliki sebuah kotak kayu kecil yang sudah bertahun-tahun setia menjadi tempat penyimpanan uangnya. Kotak itu diletakkan di sudut kamar, di bawah lemari tua yang sudah agak miring. Setiap malam, setelah menghitung hasil usahanya, Yai Usman menyelipkan lembaran-lembaran uang itu dengan hati-hati ke dalam kotak, sambil berdoa agar rezekinya selalu berkah.
Baginya, uang bukan sekadar alat tukar, tapi juga titipan yang harus dikelola dengan amanah. Meski sederhana, Yai Usman memiliki aturan yang ketat dalam mengelola keuangannya. Sepertiga untuk kebutuhan keluarga, sepertiga untuk modal usaha, dan sepertiga lagi ia sisihkan untuk sedekah.
"Menyimpan untuk dunia, tapi juga untuk akhirat," gumamnya sambil tersenyum. Ia teringat pesan almarhum ayahnya yang dulu sering mengingat
Bulan ini, Yai Usman sudah meniatkan diri menyisihkan hasil usaha untuk membeli karpet baru bagi masjid. Karena karpet yang lama sudah terlihat lusuh dan kasar. Keinginan itu pun bisa ia wujudkan. Sore itu, ia membawanya ke masjid dengan hati riang.
Di masjid, ia menggantikan karpet lama. Tak ada yang memintanya, namun Yai Usman merasa ini adalah bagian dari tanggung jawabnya. Karena apa pun yang kita miliki, sekecil apa pun, harus bisa bermanfaat untuk orang lain.
Setelah selesai memasang karpet baru, Yai Usman duduk sejenak di salah satu sudut masjid. Ia memperhatikan karpet yang kini terlihat lebih bersih dan nyaman untuk digunakan. Senyum kecil menghiasi wajahnya saat membayangkan jamaah yang akan lebih khusyuk saat salat.
Tak lama, azan maghrib berkumandang. Beberapa jamaah mulai berdatangan. Mereka terlihat terkejut dan kagum melihat karpet baru yang terpasang rapi. "Masya Allah, siapa yang memasang karpet baru ini?" tanya salah seorang jamaah.
Yai Usman hanya tersenyum dan menjawab, "Ini semua dari Allah. Saya hanya berusaha menyisihkan sedikit rezeki yang saya punya untuk rumah-Nya." Ucapannya sederhana, tapi membuat hati jamaah tersentuh.
Malam itu, masjid terasa lebih hangat. Tidak hanya karena karpet baru yang empuk, tetapi juga karena keikhlasan Yai Usman yang menyentuh hati banyak orang. Jamaah yang hadir sepakat untuk mendoakan kesehatan dan keberkahan bagi Yai Usman. Ia pun merasa bahwa kebahagiaan sejati memang datang dari berbagi, bukan dari memiliki.
Bagi Yai Usman, hidup adalah tentang kejujuran, kesahajaan, dan memberi. Ia percaya bahwa setiap tindakan baik, sekecil apa pun, adalah investasi menuju kehidupan yang lebih mulia.
Ia selalu mengajarkan kepada anak-anak muda di kampungnya bahwa rezeki bukanlah soal berapa banyak yang kita miliki, tetapi seberapa banyak yang bisa kita bagikan.
"Harta itu seperti air," katanya suatu ketika, "jika ditahan terlalu lama, ia akan keruh dan tak berguna. Tapi jika dialirkan, ia akan membawa kehidupan."
Kejujuran adalah prinsip yang tak pernah ia tawar. Dalam berdagang, Yai Usman selalu memastikan timbangan pas, harga wajar, dan tidak pernah mengambil keuntungan yang berlebihan.
Baginya, keberkahan lebih penting daripada sekadar keuntungan materi. Hal ini membuatnya dihormati, bukan hanya sebagai seorang pedagang, tetapi juga sebagai teladan dalam bermasyarakat.
Kesahajaan adalah cerminan hidupnya. Rumah Yai Usman sederhana, tanpa ornamen mewah. Namun, rumah itu selalu terbuka untuk siapa saja yang membutuhkan tempat berteduh atau sekadar berbagi cerita. Ia percaya bahwa kesahajaan bukan berarti kekurangan, melainkan kemampuan untuk merasa cukup dan bersyukur atas apa yang telah diberikan Allah.
Dan memberi, itu adalah inti hidupnya. Setiap panen hasil kebun, sebagian selalu ia sisihkan untuk tetangga yang kurang mampu. Setiap kali ada rezeki lebih, ia gunakan untuk membantu perbaikan fasilitas umum, seperti masjid atau jalan kampung. Ia sering berkata, "Jika tangan kita sering memberi, Allah akan selalu membuat kita cukup, bahkan lebih."
Hidup Yai Usman menjadi inspirasi bagi banyak orang. Dalam kesederhanaannya, ia menunjukkan bahwa kebahagiaan sejati bukanlah tentang memiliki segalanya, melainkan tentang bagaimana kita bisa menjadi manfaat bagi sesama. "Hidup ini singkat," katanya, "jadilah cahaya bagi orang lain, meskipun kecil, karena gelap tak pernah bisa menang dari terang."
***
Malam itu, setelah menunaikan salat isya, Yai Usman duduk di serambi masjid. Ia merenungi perjalanan hidupnya yang sederhana namun penuh makna. Di tengah kesunyian malam, ia mengingat ayat Al-Qur'an yang menjadi pedoman hidupnya:
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. An-Nisa: 58)
Ayat itu senantiasa menguatkan langkahnya untuk terus menjaga kejujuran dan amanah, meskipun sering kali harus menghadapi godaan dunia. Baginya, rida Allah adalah tujuan utama, dan kejujuran adalah jalan menuju rida-Nya.
Sambil memandangi langit malam yang bertabur bintang, Yai Usman merasakan kedamaian yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Dalam hati, ia berdoa agar Allah selalu memberinya kekuatan untuk terus berada di jalan yang benar, jalan yang penuh dengan keikhlasan dan tanggung jawab.
Ia teringat bagaimana ayat itu telah menuntunnya dalam berbagai keputusan sulit. Seperti saat ia harus menyelesaikan sengketa tanah antarwarga beberapa tahun lalu. Meski kedua belah pihak mencoba memengaruhinya dengan berbagai tawaran, ia tetap teguh memutuskan perkara dengan adil, sesuai dengan kebenaran.
"Keadilan itu berat, tapi itulah amanah," gumamnya saat itu. Keputusannya memang tidak membuat semua pihak senang, tetapi dalam jangka panjang, ia melihat bagaimana kebenaran akhirnya membawa kedamaian.
Di usianya yang sudah senja, Yai Usman merasa bersyukur bahwa ia masih diberi kesempatan untuk berbuat baik. Setiap hari baginya adalah kesempatan baru untuk menanam amal, seperti seorang petani yang menanam benih di ladang. Ia tidak pernah tahu kapan hasilnya akan dituai, tapi ia yakin Allah tidak pernah lalai mencatat setiap usaha hamba-Nya.
Malam semakin larut, namun hati Yai Usman terasa semakin terang. Ia mengambil Al-Qur'an yang selalu ia simpan di sudut serambi masjid, membacanya dengan khusyuk, menyelami setiap maknanya. Di sela-sela bacaannya, ia berdoa, "Ya Allah, jadikanlah aku hamba yang selalu menjaga amanah-Mu. Bimbinglah aku agar tetap berada di jalan-Mu, hingga akhir hayatku."
Bagi Yai Usman, hidup bukan tentang seberapa banyak yang telah ia capai, melainkan seberapa banyak ia bisa memberi manfaat. Ia percaya bahwa setiap langkah kecil menuju kebaikan adalah investasi menuju keabadian, investasi untuk mendapatkan senyum rida Allah di akhirat nanti. (agus wahyudi)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI