Namun, di balik senyuman lembut itu, Firda menyimpan kegelisahan. Bukan hanya karena ia kurang percaya diri, tetapi juga karena ada kenangan yang selalu mengganggu setiap kali ia dihadapkan pada situasi penting. Kenangan tentang ibunya.
Ibunya adalah sosok yang luar biasa. Ketika Firda dan delapan saudaranya masih kecil, ayah mereka meninggal dunia. Waktu itu, Firda adalah anak yang paling tua, baru berusia sembilan tahun.
Sang ibu, yang hanya mengandalkan warung kelontong kecil di pinggir desa, mendadak harus menjadi tulang punggung bagi sembilan anak yang masih kecil. Warung itu bukan sekadar tempat untuk berdagang, tetapi juga tempat sang ibu mengajar anak-anak mengaji.
"Ibu selalu bilang, 'Di sini, kita belajar dengan hati, bukan hanya dengan mulut.' Dan dia mengajarkan kami semua untuk selalu rendah hati, meskipun kami hidup dalam kesulitan," Firda bercerita pada Laily, suatu hari.
Di warung itu, ibunya mengajarkan mengaji bagi anak-anak yang merasa malu untuk datang ke masjid. Setiap malam selepas Isya, ibu Firda dengan sabar duduk di lantai tanah yang dingin, membimbing mereka membaca huruf demi huruf Al-Qur'an. Suara lembutnya masih terngiang di telinga Firda sampai sekarang.
Ibunya tidak pernah mengeluh, meskipun harus bekerja keras dari pagi hingga larut malam. Meskipun hanya dari warung kecil itulah, ia mampu membiayai anak-anaknya hingga semuanya tumbuh menjadi orang-orang yang bisa berdiri di atas kaki mereka sendiri.
"Ibu adalah sosok yang penuh keberanian," pikir Firda . Namun, di balik itu, ada rasa perih yang selalu ia sembunyikan---rasa kehilangan ayah dan beban berat yang harus ditanggung sang ibu.
Setiap kali Firda dihadapkan pada momen penting dalam hidupnya, kenangan tentang perjuangan ibunya selalu menghantui. Ada perasaan tidak ingin mengecewakan, seakan segala usahanya belum cukup untuk membalas semua pengorbanan itu.
***
Tibalah hari perlombaan. Firda mengenakan baju sederhana seperti biasanya, dengan kerudung yang membingkai wajahnya. Ketika tiba gilirannya untuk tampil, hatinya berdegup kencang. Di depan banyak orang, tangannya gemetar, dan pikirannya kembali kepada ibunya. Bagaimana ibunya dulu, tanpa kenal lelah, menghadapi kehidupan dengan penuh keberanian. Bagaimana ibunya selalu bisa menyentuh hati orang lain, tidak dengan kata-kata yang banyak, tetapi dengan tindakan nyata.
Saat Firda mulai berbicara, kata-katanya terdengar terputus-putus. Namun, perlahan-lahan, ia mendapatkan kekuatan dari kenangan tentang ibunya. Menyeruak tajam dalam pikirannya.