Pak Suko, yang kini telah bergeser dari podium dan duduk bersama jajaran guru besar dan pimpinan rektorat UM Surabaya, tampak syahdu menyaksikan momen tak terlupakan itu. Kedua kelopak matanya tampak basah, berkilauan dalam cahaya yang lembut. Mulutnya bergetar. Telunjuk kirinya menutup hidung. Menahan perasaan haru.
Perempuan itu berjalan mendekati panggung, dan Pak Suko menyambutnya. Buket bunga diserahkan, dan Pak Suko tersenyum. Wajahnya tampak trenyuh, dihiasi senyum lembut yang menyiratkan kebahagiaan mendalam. Tepuk tangan panjang bergema di seluruh ruangan.
***
Saya mengenal Pak Suko cukup lama, sejak sekitar tahun 2000-an. Saat itu, saya masih aktif sebagai jurnalis. Sementara Pak Suko, selain menjadi dosen di UM Surabaya, juga menjabat sebagai direktur RS PKU Muhammadiyah Surabaya yang legendaris.
Rumah sakit tersebut didirikan pada 14 September 1924 dengan nama PKU (Penolong Kesengsaraan Umum) Muhammadiyah. Awalnya PKU terletak di Jalan Sidodadi 57, Surabaya.
Dalam sejarahnya, banyak tokoh Muhammadiyah dan tokoh penting lainnya hadir saat peresmiannya, termasuk KH. Syudja', H. Hadikusumo, KH. Mas Mansur, dr. Soetomo, dan Direktur C.B.Z Simpang dr. Tamm.
Pak Suko adalah pimpinan kelima rumah sakit ini, meneruskan jejak Dr. Kusnuljakin, Dr. M. Soeherman, Dr. Mutadi, dan Dr. HM. Usman, Sp.FK. Di bawah kepemimpinannya dari tahun 2002 hingga 2013, rumah sakit ini mengalami banyak kemajuan.
Saya sering bertemu dengan Pak Suko, berdiskusi mengenai berbagai hal, termasuk kemajuan rumah sakit. Sebagai dokter, Pak Suko memiliki wawasan luas. Dia juga sangat well-informed terhadap perkembangan teknologi di bidang kesehatan.
Pak Suko juga dikenal sering mengadakan kegiatan yang menyentuh masyarakat kelas bawah, seperti operasi bibir sumbing dan khitanan massal gratis.
Pak Suko juga terkenal dengan kemurahan hatinya, seperti saat membantu kolega saya yang sedang mengalami kesulitan finansial untuk mendapatkan diskon biaya persalinan.