Cowok itu ternyata Hubert Putra Han, anak kedua Robert Han. Anak pertama, Richard Han yang biasanya ikut sembayang, namun saat itu tidak bisa hadir.
Dia lalu mengajak lalu masuk ke ruang tunggu. Di sana sudah ada Robert dan istrinya, Mega Tanuwijaya.
Rumah Abu Han itu dibagi dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, ruang tunggu yang dihiasi langgam arsitektur Melayu pada sisi kanan dan kirinya. Kedua, ruang utama untuk sembanyang dengan langgam arsitektur Melayu. Ketiga, tiang penyangga bangunan yang didatangkan dari Inggris.
"Maaf, tadi lama menunggu ya. Ya, begini suasana Imlek," ucap Robert setelah menyalami kami.
Robert, Mega dan Hubert lalu menyajikan kue-kue yang diletakkan di atas piring. Ada apem, kue bolu, donat, dan nagasari. Juga minuman air mineral dan teh kemasan.
Kami berlima terlibat diskusi panjang dan mengasyikkan. Dari cerita sejarah keluarga Han berikut perjalanan hidup Robert dan keluarganya.
"Saya belum kenal. Saya ini generasi kesembilan. Kalau Han Ay Lie generasi ke-14, ya nanti kan bisa dilacak dari mana. Dia sekarang umur berapa? Makanya perlu ketemu," kata Robert menanggapi pertanyaan saya.
Robert juga menceritakan bagaimana dia mempertahankan Rumah Abu Han. Di mana, pada masa Orde Baru, banyak sekali rumah-rumah tua yang tidak terurus dan kemudian berpindah tangan.
Modusnya, ada pihak yang mengiklankan ke media yang oplahnya sedikit. Setelah tidak ada tanggapan, pihak itu mendaftarkan ke semacam balai lelang. Jika mulus proses persidangannya, rumah itu dieksekusi dan kemudian berganti kepemilikan. Â Â
Suatu hari, Robert pernah diberi tahu temannya. Kalau rumah keluarganya di Jalan Karet 72 (kini dikenal Rumah Abu Han) didaftarkan di balai lelang.
Robert yang paham soal hukum lalu mendatangi balai lelang. Dia bawa sertifikat dan bukti-bukti pendukung lainnya. Pejabat balai lelang akhirnya membatalkan pengajuan karena menemukan bukti-bukti yang sah yang dibawa Robert.