Sudah lama saya penasaran dengan bangunan yang satu ini: Rumah Abu Han. Lokasinya di Jalan Karet 72, Surabaya. Berada di kawasan Pecinan. Rumah itu sudah ditetapkan menjadi bangunan cagar budaya Surabaya. Â Â
Nama Rumah Abu Han memang saya dengar sejak lama. Baik dari membaca literatur, berita di media massa, maupun melihat tayangan video-video yang tersebar di media sosial.
Rumah yang sangat eksotik. Dari catatan sejarahnya, Rumah Abu Han dibangun tahun abad 17. Rumah ini milik keluarga Han Bwee Koo dari bangsawan keluarga Han.
Yang diteliti The Begandring Institute, keluarga Marga Han punya reputasi mengesankan. Keluarga Han di Jawa berperan penting di wilayah Jawa Timur. Bukan hanya dalam soal perdagangan, tapi juga jabatan pemerintahan dan percaturan politik.
Keluarga Han menguasai wilayah pantai utara Jawa bagian Timur. Keluarga Han diangap jadi pesaing sekaligus ancaman buat Inggris dan Belanda yang datang menguasai wilayah awal abad 20.
Dari memposting berita Marga Han saya juga membaca balasan dari Han Ay Lie. Dia mengaku generasi ke-14 Han Siong Kong. Dia kemudian memberi link blog-nya.
Setelah saya baca, ternyata dia seorang profesor/guru besar Departemen Teknik Sipil Universitas Diponegoro (Undip). Pernah menempuh studi di Manitoba University Winnipeg-Canada dan North Carolina State University (NCSU), USA.
Tahun 2016, saya pernah mengerjakan buku Surabaya Heritage. Yang memuat foto-foto bangunan cagar budaya di Surabaya. Berisi 200 halaman lebih. Ada teks bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Dalam buku tersebut, salah satu objek bangunan yang masuk daftar adalah Rumah Abu Han. Selain-bangunan lain seperti Balai Pemuda, House of Sampoerna, Gedung Brantas, Gelora Pantjasila, dan masih banyak lagi.
Meski menyusun buku Surabaya Heritage, saya belum pernah mengunjungi Rumah Abu Han. Karena pengambilan foto-foto tentang rumah bersejarah tersebut dikerjakan seorang kawan yang berprofesi sebagai fotografer.
Pun saya juga sering lewat di depan Rumah Abu Han. Karena lokasinya sering menjadi jalur yang saya lewati. Rumah saya di Jalan Simolawang, hanya sekitar 3 km dari Rumah Abu Han.
Harian Radar Surabaya, di mana saya pernah 15 tahun bekerja di sana, sekarang menempati bangunan tua di Kembang Jepun. Jaraknya hanya seratus meter dari Rumah Abu Han.
***
Saya tentu gembira sekaligus mengiyakan ajakan Nanang Purwono. Dia seorang jurnalis senior, sekarang menjadi ketua Begandring Soerabaya. Pascapensiun dari salah satu TV swasta di Jawa Timur, Nanang aktif sebagai pegiat sejarah. Dia gigih melakukan penelusuran dan penelitian sejarah dan budaya.Â
Kedatangan kami ke Rumah Abu Han masih berkaitan dengan Imlek 2023. Di mana Begandring Soerabaia bakal mengadakan kegiatan Surabaya Urban Track (Subtrack), program jelajah sejarah, Minggu (22/1/203) pagi.
Program ini diadakan sejak 2019. Sudah banyak kalangan mengkuti kegiatan ini. Bukan hanya dari Surabaya, tapi luar daerah bahkan dari luar negeri. Beberapa komunitas disabilitas juga pernah mengikuti jalan-jalan sejarah ini.
Di awal 2023 ini, kawasan Pecinan menjadi tema Subtrack. Dalam kegiatan ini, pesertanya akan diajak menyisir dan menguak jejak Tionghoa peranakan di Surabaya. Di mana salah satu objek yang dikunjungi adalah Rumah Abu Han.
Saya juga ingin mengeksplor Rumah Abu Han itu. Karena tidak semua orang bisa seenaknya berkunjung ke rumah tersebut. Untuk masuk Rumah Abu Han harus mengantongi izin dari Dinas Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga serta Pariwisata (DKKOP) Kota Surabaya.
"Kita tunggu di sini dulu. Pak Robert Han bersama keluarganya masih sembayang," kata Nanang saat bertemu saya di ruang depan Rumah Abu Han.
Tak lama, seorang cowok tinggi bertubuh subur keluar. "Silakan masuk," katanya ramah.
Cowok itu ternyata Hubert Putra Han, anak kedua Robert Han. Anak pertama, Richard Han yang biasanya ikut sembayang, namun saat itu tidak bisa hadir.
Dia lalu mengajak lalu masuk ke ruang tunggu. Di sana sudah ada Robert dan istrinya, Mega Tanuwijaya.
Rumah Abu Han itu dibagi dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, ruang tunggu yang dihiasi langgam arsitektur Melayu pada sisi kanan dan kirinya. Kedua, ruang utama untuk sembanyang dengan langgam arsitektur Melayu. Ketiga, tiang penyangga bangunan yang didatangkan dari Inggris.
"Maaf, tadi lama menunggu ya. Ya, begini suasana Imlek," ucap Robert setelah menyalami kami.
Robert, Mega dan Hubert lalu menyajikan kue-kue yang diletakkan di atas piring. Ada apem, kue bolu, donat, dan nagasari. Juga minuman air mineral dan teh kemasan.
Kami berlima terlibat diskusi panjang dan mengasyikkan. Dari cerita sejarah keluarga Han berikut perjalanan hidup Robert dan keluarganya.
"Saya belum kenal. Saya ini generasi kesembilan. Kalau Han Ay Lie generasi ke-14, ya nanti kan bisa dilacak dari mana. Dia sekarang umur berapa? Makanya perlu ketemu," kata Robert menanggapi pertanyaan saya.
Robert juga menceritakan bagaimana dia mempertahankan Rumah Abu Han. Di mana, pada masa Orde Baru, banyak sekali rumah-rumah tua yang tidak terurus dan kemudian berpindah tangan.
Modusnya, ada pihak yang mengiklankan ke media yang oplahnya sedikit. Setelah tidak ada tanggapan, pihak itu mendaftarkan ke semacam balai lelang. Jika mulus proses persidangannya, rumah itu dieksekusi dan kemudian berganti kepemilikan. Â Â
Suatu hari, Robert pernah diberi tahu temannya. Kalau rumah keluarganya di Jalan Karet 72 (kini dikenal Rumah Abu Han) didaftarkan di balai lelang.
Robert yang paham soal hukum lalu mendatangi balai lelang. Dia bawa sertifikat dan bukti-bukti pendukung lainnya. Pejabat balai lelang akhirnya membatalkan pengajuan karena menemukan bukti-bukti yang sah yang dibawa Robert.
"Kalau berpikir untung rugi, kami bisa saja menjual rumah ini. Harganya bisa miliaran. Tapi saya tidak berpikir begitu. Saya memilih merawat rumah ini, meski harus menguarkan cost yan tidak sedikit," ujar Robert.
Ada satu cerita menarik sebelum Robert dan Mega menikah. Suatun ketika, Robert pernah mengajak Mega datang ke Rumah Abu Han.Â
"Saat itu, saya tanya, siapa dia merawat rumah ini? Dia (Robert) bilang kalau dia sendiri yang mengerjakan. Saya lalu bilang mau membantu merawat dan diperbolehkan," ucap Mega. Â
Rupanya, pernyataan Mega tersebut membuat Robert terkesima. Hingga menikah, mereka dan juga kedua anaknya masih telaten dan konsisten merawat Rumah Abu Han yang luasnya 1.600 meter persegi tersebut. Â
***
Upaya Robert Han mempertahankan Rumah Abu Han tak sia-sia. Tahun pada 8 Januari 2013, Pemerintah Kota Surabaya menetapkan rumah itu sebagai bangunan cagar budaya.
"Bu Risma (Tri Rismaharini) yang saat itu masih wali kota Surabaya datang ke sini. Dia senang lihat rumah ini. Bahkan dia mengusulkan dibuka kafe di belakang. Biar masyarakat bisa nongkrong, ngopi, sekaligus menikmati jejak sejarah Rumah Abu Han," tutur Robert.
Risma, imbuh Robert, sebelumnya sempat bertanya banyak hal tentang keunikan Rumah Abu Han. Terlebih perempuan pertama yang menjadi wali kota Surabaya itu, memang belatar pendidikan arsitek. Di mana di Rumah Han dilengkapi ornamen khas dari Eropa, Tiongkok, dan Jawa.
Di sela kami mengobrol, tiba-tiba ada serombongan anak muda datang. Mereka dari Komunitas Old Surabaya Hunter. Robert dan Hubert meminta izin menemui mereka.
Tak lama Robert kembali. Dia meminta Nanang Purwono menemani sekaligus mewakili keluarga, menjelaskan sejarah Marga Han. Berikut seisi bangunan Rumah Abu Han.
Dua jam lebih kami mengobrol. Robert lalu mengajak ke ruang utama. Kami melihat sajian makanan yang tersaji dan ditata rapi di atas meja panjang.
"Kalau Imlek gini pastinya ada lima makanan yang wajib ada, ayam, bebek, babi, bandeng, dan kepiting," jelas Robert.
Selain lima menu itu, juga ada kue tok, kue wajik, lapis legi, dan beberapa makanan tradisonal lainnya. Ada juga jeruk, rambutan, dan tebu.
Kami juga diajak melihat proses membakar uang. Ketika itu, Robert dan Hubert menata uang palsu, emas palsu, dan pakaian palsu di dalam bejana.
Tradisi yang dilakukan secara turun-temurun selama ribuan tahun. Uang yang digunakan bukan uang asli yang biasa digunakan bertransaksi di kehidupan sehari-hari.
Saya sempat bertanya, makna tradisi membakar uang ini? "Biar rezekinya diganti," ucap Robert, lalu tersenyum.Â
Di kalangan orang Tionghoa, tradisi membakar uang menggunakan uang palsu, diyakini dapat memenuhi kebutuhan anggota keluarga yang telah meninggal di akhirat.
Uang bisa membeli kebahagiaan bahkan di akhirat. Sehingga dengan membakar uang palsu bisa memastikan bahwa leluhurnya memiliki banyak uang di dunia setelah kematian.
Pun membakar uang arwah juga merupakan bentuk pemujaan terhadap para leluhur yang mana leluhur punya kekuatan untuk mempengaruhi kekayaan atau nasib anggota keluarganya yang masih hidup.
Api melahap habis barang-barang itu di bagian samping Rumah Abu Han. Kami kemudian pamit undur diri, di saat matahari mulai meninggi. (agus wahyudi)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H