Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Serunya Blusukan di Kampung Peneleh Bareng Pekerja Difabel

2 Januari 2023   22:34 Diperbarui: 3 Januari 2023   15:16 943
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Idenya muncul spontan. Saat kami kongkow sambil ngopi di Lodji Besar, di Jalan Makam Peneleh 46, Surabaya. Tempat nongkrong para pegiat sejarah dan budaya, sekaligus sekretariat Pekumpulan Begandring Soerabaia.

Begandring bisa dibilang komunitas pegiat sejarah yang lagi hits di Surabaya. Aktivitasnya padat. Mereka punya program unggulan, namanya Surabaya Urban Track (Subtrack). Ya, semacam-jalan-jalan sejarah. Program ini digelar sejak 2019.

Tahun 2022, Begandring berkolaborasi dengan TVRI membuat tiga film dokumenter drama. Yakni Jalan Sunyi dr. Soebandi, film Koesno, Jati Diri Soekarno yang berhasil menembus Festival Film Indonesia (FFI) 2022 untuk nomine Film Pendek Terbaik.

Satu lagi, film Soera ing Baja, Gemuruh Revolusi '45. Film tersebut ditayangkan  di Studio XXI Tunjungan Plaza (TP) 1 Surabaya, Senin (2/3/2022).

Sedangkan Lodji Besar itu rumah tua peninggalan Belanda. Rumah itu dibangun tahun 1907. Pemiliknya, Kuncarsono Prasetyo, kebetulan teman karib. Sama-sama menjadi jurnalis. Dia bergabung di Harian Surya, sedangkan saya di Radar Surabaya. Kami sama-sama resign dari media, selisihnya setahunan.

Malam itu, Rabu (30/12/2022), saya datang di Lodji Besar untuk melepas penat. Seperti biasa, kopi hitam, cemilan, dan air mineral yang saya pesan. Saya juga janjian bertemu Kuncarsono untuk mendiskusikan rencana produksi clothing.

Saya kemudian mengontak teman lain, namanya Oon Sumardinono. Dia dulu menjabat sebagai Kepala Pasar Kapasan, Surabaya, pusat grosir garmen terbesar di Surabaya yang menjadi jujugan orang dari Jawa Timur dan Indonesia Timur.

Oon juga sudah lama resign. Dia kini menjadi pelaku usaha. Salah satunya, membuka usaha konveksi, namanya Arsyadina. Workshop-nya di Simo Sidomulyo V Nomor 5, Surabaya.

Tak lama, dua orang teman lain bergabung. Yakni, A. Hermas Thony datang. Dia seorang legislator, menjabat wakil ketua DPRD Kota Surabaya. Akhir tahun 2022, dia dinobatkan sebagai Tokoh Penggerak Budaya oleh Kelompok Kerja Wartawan Surabaya. 

Thony memang sangat dekat dengan para pegiat sejarah. Dia juga banyak memfasilitasi kegiatan seperti penelusuran, diskusi, focus droup discussion (FGD), dan lainnya. Sebelum menjadi legislator, beberapa kali Thony juga terlibat dalam demostrasi menentang pembongkaran bangunan-bangunan cagar budaya di Surabaya.

Satu lagi Nanang Purwono. Dia Ketua Begandring Soerabaia. Mantan wakil pemimpin redaksi televisi lokal di Surabaya. Dia juga lama menjadi guide di sebuah perusahaan tour and travel.

Nanang aktif melakukan penelusuran sejarah. Berbagi temuan ia tulis dan dipublikasikan ke publik. Tulisan-tulisannya banyak dimuat di media mainstream. 

Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya A. Hermas Thony (dua dari kiri) memberikan sambutan sebelum memulai Subtrack. foto: m. fathurrozi
Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya A. Hermas Thony (dua dari kiri) memberikan sambutan sebelum memulai Subtrack. foto: m. fathurrozi

***

Namanya saja juga kongkow sambil ngopi, topik pembicaraan kami awalnya enteng-enteng saja. Ngalur ngidul, ngetan ngulon, begitu orang Surabaya menamainya.    

Namun diskusi kami tiba-tiba menghangat. Gara-garanya, Oon Sumardiono mengungkapkan keinginan untuk mengajak para pekerja datang ke Peneleh. Blusukan ke kampung bersejarah tersebut. Dikenal sebagai situs Kebangsaan.

Untuk apa? Untuk belajar sejarah! Wow, anak difabel jalan-jalan sambil belajar sejarah? Itulah yang ada di benak kami. Membayangkan membawa kaum difabel menyisir Kampung Peneleh.

Oon Sumardiono mengungkapkan, di tempatnya ada 20 orang peyandang difabel dari total 33 orang pekerja. Dari 20 pekerja difabel itu, 18 pekerja direkrut dari Dinas Tenaga Kerja Kota Surabaya yang membuka lowongan pekerjaan pada Agustus 2022 lalu.

Sementara dua pekerja difabel lain merupakan titipan dari Dinas Sosial Kota Surabaya. Dari 18 pekerja difabel itu, 17 penyandang tunarungu dan tunawicara. Satu orang penyandang tunagrahita.

Pastinya, kami tidak bisa sendiri. Karenanya, harus disiapkan seorang penerjemah. Karena tak satu pun pegiat sejarah di Begandring Soerabaia yang memiliki kemampuan dan ketrampilan menerjemahan bahasa isyarat.

"Saya bisa datangkan guru dari SLB Karya Mulia. Dia dulu guru para pekerja di tempat kami semasa masih sekolah. Nanti dia yang akan membantu menerjemahkan," timpal Oon antusias.

Kami lantas menyusun agenda kegiatannya, berikut rundown-nya. Tanggal yang tepat adalah hari Sabtu, 31 Desember 2022. Menyambut tahun baru 2023. Waktunya sekira 15.30 WIB, selespas Ashar. Jelang malam tahun baru. Temanya pun disepakati," Berwisata di Peneleh sambil Belajar Sejarah."

Praktis hanya tiga hari persiapan, sebelum hari "H" pelaksanannya. Kami lalu me-list para personel yang ikut mendampingi. Yang disepati  ada dua guide dan 5 orang co-guide. Termasuk outfit yang dipakai, yakni kostum ala pejuang dan tokoh kebangsaan masa lalu.

Start dan finish kegiatan Subtrack, berikut titik kumpulnya di Lodji Besar. Tempatnya kami anggap sangat representatif plus instagramable. Pelajaran sejarah pun bisa dimulai dari sana. Paling tidak dengan menerangkan sejarah bangunan dan arsitekturnya.

Perkerja difabel merasakan air Sumur Jobong. foto: m. fathurrozi
Perkerja difabel merasakan air Sumur Jobong. foto: m. fathurrozi

***

Para pekerja difable diajak menjelajah satu-satunya kampung di Surabaya yang memiliki catatan sejarah dalam empat masa. Ada masa klasik di era Majapahit, masa kolonial, masa pergerakan yang menjadi embrio kebangkitan nasional, dan masa kemerdekaan.

Ada sejumlah objek penting di Kampung Peneleh. Di antaranya Rumah HOS Tjokroaminoto, Makam Belanda Peneleh, Sumur Jobong, Rumah Lahir Bung Karno, Masjid Jami', Langgar Dhuwur, dan Makam Nyai Rokaya Cempo.

Kami tak mungkin menjelajah sebanyak itu. Maka, dipilihkan tiga objek saja. Kegiatan jalan-jalan sejarah itu dimulai dengan menyusuri dan mendatangi Makam Belanda Peneleh. Makam yang eksotik dan legendaris.

Kuncarsono yang menjadoi pemandu dibantu oleh Sukamto dari SLB Karya Mulia Surabaya. Dia menunjukkan beberapa makam dari tokoh-tokoh penting yang punya pengaruh besar terhadap perkembangan Kota Surabaya.

Salah satunya, makam Gubernur Jenderal Hindia Belanda Pieter Merkus. Dia meninggal tahun 1844, dikubur di Pemakaman Krembangan. Namun pada 1847 ketika Makam Peneleh dibangun, jenazah sekaligus prasastinya dipindah ke Makam Peneleh, empat tahun kemudian.

Merkus satu-satunya Gubernur Jenderal yang dimakamkan di luar ibu kota negara, yaitu Bogor dan Jakarta. Merkus bahkan mencatat satu-satunya Gubernur Jenderal yang meninggal saat menjabat.

Akhir hayatnya, sebut Kuncarsono, sungguh misteri. Pilihannya pindah ke Surabaya saat sakit menjadi tanda tanya sampai sekarang. Menurut, Rob van de Ven Renardel, satu ahli waris elite zaman Belanda yang dimakamkan di Peneleh, keputusan Merkus keluar ibu kota, bahkan saat sakit, menimbulkan teka-teki di sejarah Belanda.

Jelajah sejarah berikutnya, para difabel diajak ke Sumur Jobong. Lokasinya di Pandean Gang I, sekitar 75 meter dari Makam Belanda Peneleh. Ini sumur yang fenomenal.

Sumur Jobong adalah peninggalan era Kerajaan Majapahit, sekitar abad 15. Sumur ini berada di bawah permukaan tanah dan masih mengeluarkan air yang jernih dan segar.

Usai dijelaskan oleh pemandu, para difabel tertarik untuk merasakan air Sumur Jobong. Satu per sati dari mereka menuruni dan masuk ke dalam ruang bawah tanah di mana sumur berada.

Para difabel tersebut dibantu Agus Santoso, juru pelihara (jupel) Sumur Jobong. Mereka kemudian mengambil air dengan dengam cebuk mandi, lalu membasuhkan air sumur itu ke mukanya.

Dengan bahasa isyarat, mereka mengaku merasakan kesegaran air sumber di Sumur Jobong itu. Seperti kebiasaan mereka kalau mengambil air wudhu sebelum melaksanakan salat.

Objek terakhir jalan jalan sejarah ini adalah Rumah Lahir Bung Karno di Pandean IV. Kali pertama ditemukan jejak sejarah rumah ini kemudian membalikkan sejarah, jika Soekarno tidak lahir di Blitar, melainkan di Kota Surabaya.

Rumah Lahir Bung Karno ini merefleksikan dimulainya lembar sejarah pergerakan hingga kemerdekaan. Di mana Soekarno kecil, remaja, dan dewasa tinggal lama di Surabaya.

Sayang, saat dikunjungi, Rumah Lahir Bung Karno yang masih dalam proses dimanfaatkan sebagai museum. Jadi tidak bisa melihat seisinya. Para pekerja difabel hanya bisa berfoto di depan dan mengintip dari lubang kunci.

Penjelajahan berakhir. Para difabel benar-benar antusias menikmati jalan-jalan-jalan ini. Mereka kepingin kembali lagi, blusukan lagi. Menikmati cerita-cerita sejarah yang sama sekali belum diketahui. (agus wahyudi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun