Semestinya sudah kukabarkan masalah ini secepatnya. Di saat prasangka, kegundahan, juga ketertarikan membakar hatiku. Ketika aku harus mengakhirinya dengan berterus terang. Menyatakan semua yang terendap lama di batin.
Namun, apa yang terjadi sesungguhnya jauh dari harapanku. Atau, harapan banyak orang-orang sekitarku. Lamat-lamat, semuanya lenyap. Musnah. Bak debu tertelan angin puyuh.
Tergerus waktu-waktu panjang penantian dalam rotasi kehidupan. Meski semu dan jauh dari keniscayaan.
Sungguh, betapa tak bernyalinya diriku. Melewatkan semua kesempatan tanpa alasan. Membuang kesempatan dan peluang yang jarang-jarang dimiliki banyak orang.
Dan ujungnya, hanya upaya sederhana yang selalu dipakai meredam hati : harus bisa legawa. Bisa menerima dengan ketulusan.
Seperti kebiasaanku, terlalu berat bertutur apa adanya. Terlalu mahal bagiku untuk melakukannya. Butuh perhitungan, kecermatan, analisis, logika, dan berbagai telaah. Juga pertimbangan-pertimbangan orang-orang di sekitarku.
Aku takut melihat orang tersakiti. Meski, sesungguhnya, aku sendiri mudah terjerat dalam kepedihan. Keterikatan yang membuai.
Aku masih meyakini tahapan-tahapan itu bakal membuat diriku lebih nyaman.
Menimbang-nimbang persoalan akan menjauhkan diriku dari pribadi sembrono. Bukankah segala keputusan antarmanusia atau manusia dengan tuhannya sangat ditentukan oleh rasa, oleh dorongan hati? Toh, ini juga menyangkut masalah keyakinan, ketulusan, dan cinta.
Dulu, aku kerap kali disentil teman-teman sekolah. Mereka bilang, diriku peragu yang rupawan. Kekuatan fisik diriku tak sebanding dengan sikap, tindakan, dan kemandirianku.
Banyak momen-momen penting nan indah tersiakan. Banyak asmara yang pantas disemai untuk menjadi pendorong hidup, ujungnya justru terluntakan.
Garis hidup manusia kan seperti begitu. Bahkan terkadang sangat ekstrem. Di balik kegagahan dan kegigihan, manusia acap tercabik dengan kerapuhannya, begitu komentar Rony, teman karibku.
Sebagian teman lain malah lebih ekstrem lagi. Mereka menuding aku dungu dan bebal. Selalu berpikir kerdil. Tak punya keberpihakan yang jelas. Ya, pantaslah dengan bebek atau lembu, kata mereka memberi penilaian terhadapku.
Aku sama sekali tak bisa membela diri dengan celoteh teman-temanku. Tameng terakhir menangkis adalah mengunci mulutku rapat-rapat. Menjauhkan diri sejauh-jauhnya dari mereka.
Dan, ketika hati beranjak sesak, sering diriku tak kuasa menahan tumpahan bulir-bulir air mata.
***
Sekali waktu, aku diperkenalkan dengan Hartati. Perkenalan yang sengaja. Mira, temanku semasa kecil, yang ikut menskenario perjumpaan di di penghujung tahun. Itung-itung balas budi dia kepadaku lantaran suaminya kini, Sulastomo, adalah kakak iparku sendiri.
Hartati seorang eksekutif yang lincah. Hidupnya mapan. Usianya terpaut dua tahun lebih muda dariku. Sudah empat tahun ini, Hartati bekerja di salah satu bank swasta terkemuka di Jakarta Selatan.
Dulu, dia pernah bertunangan. Calon suaminya seorang jaksa. Impian menikah harus dikubur dalam-dalam setelah calon suaminya itu meninggal dalam kecelakaan di jalan tol menuju Bandara Soekarno-Hatta di kilometer 26 hingga 27.
Hartati punya banyak kelebihan. Posturnya mendekati ideal seorang gadis yang selalu jadi pembicaraan teman-temanku. Gurat-gurat kecantikan masih tersayat jelas di garis matanya.
Rambut hitam tebal berombak dan berkilau. Hanya perutnya yang kelihatan agak tambun, karena aku pikir dia mulai jarang berolahraga. Lagian, mustahil menuntut kesempurnaan karena diriku bukan pemilik kesempurnaan itu.
Taaruf sebagai manusia dewasa. Tak banyak yang perlu diungkap. Seperti cerita-cerita sinetron dan telenovela di televisi. Tak ada untaian kata-kata indah yang selalu dinanti wanita bila malam mulai mendekat. Tulisan-tulisan yang syahdu yang merindukan.
Berkali-kali kucoba menangkap pribadi Hartati. Bercengkrama dengan wataknya. Kuperhatikan cara dia berbicara, mendengar cerita pengalaman dan obsesinya. Baik yang getir maupun yang hebat. Yang menggugah tawa dan menusuk emosi.
Semuanya kurekam dalam memori otakku supaya aku bisa terus mengingat kilau wajahnya tatkala malam mulai beranjak pergi, mengantar malam-malam yang panjang.
Kata Eyang Nimas, bibit cinta itu bisa bersemi kalau kita tahu cara bicara dan masa lalu seseorang. Meski terpenggal, namun cerita-cerita masa lalu seseorang acapkali menggugah ilham dan memberi teladan.
Pengalaman buruk sekali pun, jangan pernah kau lupakan. Karena di sana terpetik pengalaman dan pelajaran. Eyang merasakan itu sepanjang hidup, lihatlah apa yang terjadi bila semua itu juga engkau rasakan, begitu Eyang Nimas memapahku menghayati hidup, suatu ketika.
Tapi, kenapa yang kurasakan tak begitu? Hambar-hambar saja. Suatu malam, aku menyentuh lembut tangan Hartati. Kulihat ia cukup kaget dengan sikap spontanku.
Aku mencoba merasakan desahan napasnya, melihat gerak-gerik matanya, dan menunggu reaksi darinya. Hartati meresponsnya. Ada dorongan kuat sehingga membuat sekujur tubuh Hartati berasa hangat.
Namun situasi itu terjadi sesaat saja. Belum mampu menggugah hasrat terdalam dalam diriku. Menaikkan libidoku sekalipun. Sesungguhnya aku terus mencoba untuk merasa dekat dengan kamu, tapi kehendak hatiku ini, entahlah, sangat sulit aku menjabarkan.
Tolong, pahami aku, ya? ucapku saat berupaya menghalau halus jari-jemari Hartati mulai lincah menjamah bagian dadaku.
Aku masih merasa beruntung. Ketidakrelaan itu tak kelewat berlarut. Hartati hanya mengamini, meski kekecewaan jelas terbaca dari wajahnya. Hartati menjadi wanita yang kali kesekian pernah menjumpai serabut ingatan dan asmaraku. Raib setelah terendap dalam ketidakpastian rasa.
***
Majelis talim mingguan dibuka jam tujuh lewat lima belas menit. Sesaat setelah salat Isya berakhir. Jamaah terbelah. Beberapa orang meninggalkan masjid, sebagian besar masih bertahan.
Yang terbanyak jamaah perempuan. Jamaah pria duduk bersila, membentuk separo lingkaran tak beraturan. Beda dengan jamaah putri, beberapa di antara memilih duduk dengan posisi takhiyat akhir, beberapa yang lain selonjoran.
Suara mik bergetar, lalu terdengar dengungan. Rupanya mimbar di masjid tertumbuk kaki seseorang. Ustad Lihan menampakkan diri di mimbar berbahan kayu jati dibalut dengan finishing melamin doff gelap.
Jamaah selalu merindukan Lihan. Ya, hampir dua bulan ini ia tak nampak batang hidungnya. Lihan yang berwajah manis dan bersih itu selalu jadi pembicaraan jamaah perempuan. Pintar, ramah, hangat, dan dekat dengan kaum dhuafa.
Lihan juga pengusaha sukses. Bisnis batu marmer yang digelutinya bersama saudagar dari Malaysia, dua puluh tahun lalu, kini menebar benih-benih keberkahan. Pundi-pundi kekayaannya melimpah. Lihan kaya nan dermawan.
Aku, dan juga jamaah lain sangat menyukai ceramah dia. Menukik ke subtansinya, tidak bertele-tele. Cespleng. Isi ceramahnya selalu berbobot. Lihan selalu menjauhkan kesan radikalisasi agama.
Mengupas kalam Ilahi sebagai petunjuk mujarab mengatasi semua persoalan dunia. Membimbing manusia melakoni kehidupan dunia dengan bimbingan-Nya.
Bukan di tempat ini saja aku mengikuti ceramah dia. Ketika Lihan diundang ke sejumlah daerah, aku juga tak melewatkan. Bahkan, beberapa kali aku semobil dengannya.
Tidur sekasur dengannya. Berhari-hari mengunjungi daerah-daerah pelosok yang meninggalkan jauh jantung keramaian kota. Mengunjungi kaum papa yang miskin segalanya, miskin harta, serta miskin iman.
Sekali ini Lihan bertutur. Kesuksesan manusia sangat didasari niat yang kuat dan ikhlas. Niat yang kita ucapkan dengan kesadaran penuh akan memengaruhi alam mikrokosmos dalam diri kita.
Kemudian menghubungkan kita dan mengalirkan energi dari Tuhan dan alam makrokosmos ciptaanNya ke dalam diri kita.
Aku terperanjat. Tak bisanya Lihan berbicara agak ilmiah. Jarang-jarang betul ia memberikan ceramah seperti ini. Biasanya, Lihan senang mengajak jamaah menafakuri keagungan Tuhan, membangun solidaritas sosial, dan menyentuh kalbu kedermawanan manusia. Bait-bait katanya indah dan berasa menyentuh.
Referensinya kini makin bertambah, pikirku bangga. Niat itulah memberi kita kekuatan dan vitalitas dalam kondisi apa pun, Lihan menimpali dengan suara lebih tegas.
Melihat jamaah hening dan terdiam, Lihan tergerak makin bersemangat. Pun diriku, serasa melihat cahaya bulan yang selalu dirindukan bocah-bocah di malam hari.
Lihan kemudian menyebut, setiap kilogram berat badan kita, terdiri atas sekitar satu triliun sel. Bayi lahir memiliki sekitar tiga triliun sel. Seorang dengan berat badan 60 kilogram memiliki 60 triliun sel.
Di tengah-tengah setiap sel terdapat sebuah nekleus. Nekleus sel mengandung Deoxyribo Nucleic Acid atau disingkat DNA.
Nah, DNA yang terdiri atas dua untai berbentuk spiral, yang terdapat molekul-molekul dengan nama yang disingkat dalam empat huruf: A, T, C, dan G.
Itulah kode genetik yang menyimpan semua informasi untuk membentuk dan mengatur kehidupan kita ini, beber Lihan
Yang luar biasa, setiap nekleus dari satu buah sel manusia memiliki tiga miliar huruf DNA. Tiga miliar dikalikan dengan 60 triliun, subhanallah. Itulah kenapa, jangan takut berbuat sesuatu yang besar asal kita mau berniat secara sungguh-sungguh, ucap Lihan meyakinkan.
Niat itu, sebut Lihan, akan mendorong semangat. Memompa organ-organ dalam tubuh untuk bekerja lebih keras. Kekuatan itulah jarang dipikirkan manusia.
Semangat yang besar adalah mahkota di dalam hati seorang yang merdeka. Semangat itu laksana matahari yang menyatakan cintanya dan purnama yang mengukirkan huruf-huruf dalam cahayanya, tutur Lihan.
Pikirku, Lihan memang piawai menggugah indra dengan gaya bahasa yang sastrawi.
Lihan lalu mengingatkan jika setelah niat kuat dan ikhlas belum cukup. Tubuh pun harus dibersihkan. Dijauhkan dari najis atau hadas kecil dan hadas besar.
Bersuci pun memiliki makna filosofis yang sangat mendalam. Dia lantas mengutip Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin. Menyebut empat tingkatan bersuci.
Menyucikan yang dzahir dari segala hadas, kotoran, dan benda yang menjijikkan. Menyucikan anggota badan dari segala perbuatan jahat dan dosa, beber dia.
Tingkatan berikutnya, sebut Lihan, menyucikan hati dari segala pekerti yang tercela dan sifat-sifat rendah yang terkutuk. Dan menyucikan sirr atau batin dari sesuatu selain Allah Ta'ala.Â
Malam terus beranjak. Lihan sukses menahan jamaah tak beranjak. Termasuk diriku. Pikiranku mengawang. Tubuhku berasa ringan. Seisi ruangan berasa senyap. Suara Lihan masih tergiang.
Aku terpekur dalam gundah. Melewati gerimis yang menghajar bumi. Perlahan, desir suara angin serasa mendekat. Membekap kedua kelopak mataku yang makin berat. (agus wahyudi) Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H