Majelis talim mingguan dibuka jam tujuh lewat lima belas menit. Sesaat setelah salat Isya berakhir. Jamaah terbelah. Beberapa orang meninggalkan masjid, sebagian besar masih bertahan.
Yang terbanyak jamaah perempuan. Jamaah pria duduk bersila, membentuk separo lingkaran tak beraturan. Beda dengan jamaah putri, beberapa di antara memilih duduk dengan posisi takhiyat akhir, beberapa yang lain selonjoran.
Suara mik bergetar, lalu terdengar dengungan. Rupanya mimbar di masjid tertumbuk kaki seseorang. Ustad Lihan menampakkan diri di mimbar berbahan kayu jati dibalut dengan finishing melamin doff gelap.
Jamaah selalu merindukan Lihan. Ya, hampir dua bulan ini ia tak nampak batang hidungnya. Lihan yang berwajah manis dan bersih itu selalu jadi pembicaraan jamaah perempuan. Pintar, ramah, hangat, dan dekat dengan kaum dhuafa.
Lihan juga pengusaha sukses. Bisnis batu marmer yang digelutinya bersama saudagar dari Malaysia, dua puluh tahun lalu, kini menebar benih-benih keberkahan. Pundi-pundi kekayaannya melimpah. Lihan kaya nan dermawan.
Aku, dan juga jamaah lain sangat menyukai ceramah dia. Menukik ke subtansinya, tidak bertele-tele. Cespleng. Isi ceramahnya selalu berbobot. Lihan selalu menjauhkan kesan radikalisasi agama.
Mengupas kalam Ilahi sebagai petunjuk mujarab mengatasi semua persoalan dunia. Membimbing manusia melakoni kehidupan dunia dengan bimbingan-Nya.
Bukan di tempat ini saja aku mengikuti ceramah dia. Ketika Lihan diundang ke sejumlah daerah, aku juga tak melewatkan. Bahkan, beberapa kali aku semobil dengannya.
Tidur sekasur dengannya. Berhari-hari mengunjungi daerah-daerah pelosok yang meninggalkan jauh jantung keramaian kota. Mengunjungi kaum papa yang miskin segalanya, miskin harta, serta miskin iman.
Sekali ini Lihan bertutur. Kesuksesan manusia sangat didasari niat yang kuat dan ikhlas. Niat yang kita ucapkan dengan kesadaran penuh akan memengaruhi alam mikrokosmos dalam diri kita.
Kemudian menghubungkan kita dan mengalirkan energi dari Tuhan dan alam makrokosmos ciptaanNya ke dalam diri kita.