Semestinya sudah kukabarkan masalah ini secepatnya. Di saat prasangka, kegundahan, juga ketertarikan membakar hatiku. Ketika aku harus mengakhirinya dengan berterus terang. Menyatakan semua yang terendap lama di batin.
Namun, apa yang terjadi sesungguhnya jauh dari harapanku. Atau, harapan banyak orang-orang sekitarku. Lamat-lamat, semuanya lenyap. Musnah. Bak debu tertelan angin puyuh.
Tergerus waktu-waktu panjang penantian dalam rotasi kehidupan. Meski semu dan jauh dari keniscayaan.
Sungguh, betapa tak bernyalinya diriku. Melewatkan semua kesempatan tanpa alasan. Membuang kesempatan dan peluang yang jarang-jarang dimiliki banyak orang.
Dan ujungnya, hanya upaya sederhana yang selalu dipakai meredam hati : harus bisa legawa. Bisa menerima dengan ketulusan.
Seperti kebiasaanku, terlalu berat bertutur apa adanya. Terlalu mahal bagiku untuk melakukannya. Butuh perhitungan, kecermatan, analisis, logika, dan berbagai telaah. Juga pertimbangan-pertimbangan orang-orang di sekitarku.
Aku takut melihat orang tersakiti. Meski, sesungguhnya, aku sendiri mudah terjerat dalam kepedihan. Keterikatan yang membuai.
Aku masih meyakini tahapan-tahapan itu bakal membuat diriku lebih nyaman.
Menimbang-nimbang persoalan akan menjauhkan diriku dari pribadi sembrono. Bukankah segala keputusan antarmanusia atau manusia dengan tuhannya sangat ditentukan oleh rasa, oleh dorongan hati? Toh, ini juga menyangkut masalah keyakinan, ketulusan, dan cinta.
Dulu, aku kerap kali disentil teman-teman sekolah. Mereka bilang, diriku peragu yang rupawan. Kekuatan fisik diriku tak sebanding dengan sikap, tindakan, dan kemandirianku.