Banyak momen-momen penting nan indah tersiakan. Banyak asmara yang pantas disemai untuk menjadi pendorong hidup, ujungnya justru terluntakan.
Garis hidup manusia kan seperti begitu. Bahkan terkadang sangat ekstrem. Di balik kegagahan dan kegigihan, manusia acap tercabik dengan kerapuhannya, begitu komentar Rony, teman karibku.
Sebagian teman lain malah lebih ekstrem lagi. Mereka menuding aku dungu dan bebal. Selalu berpikir kerdil. Tak punya keberpihakan yang jelas. Ya, pantaslah dengan bebek atau lembu, kata mereka memberi penilaian terhadapku.
Aku sama sekali tak bisa membela diri dengan celoteh teman-temanku. Tameng terakhir menangkis adalah mengunci mulutku rapat-rapat. Menjauhkan diri sejauh-jauhnya dari mereka.
Dan, ketika hati beranjak sesak, sering diriku tak kuasa menahan tumpahan bulir-bulir air mata.
***
Sekali waktu, aku diperkenalkan dengan Hartati. Perkenalan yang sengaja. Mira, temanku semasa kecil, yang ikut menskenario perjumpaan di di penghujung tahun. Itung-itung balas budi dia kepadaku lantaran suaminya kini, Sulastomo, adalah kakak iparku sendiri.
Hartati seorang eksekutif yang lincah. Hidupnya mapan. Usianya terpaut dua tahun lebih muda dariku. Sudah empat tahun ini, Hartati bekerja di salah satu bank swasta terkemuka di Jakarta Selatan.
Dulu, dia pernah bertunangan. Calon suaminya seorang jaksa. Impian menikah harus dikubur dalam-dalam setelah calon suaminya itu meninggal dalam kecelakaan di jalan tol menuju Bandara Soekarno-Hatta di kilometer 26 hingga 27.
Hartati punya banyak kelebihan. Posturnya mendekati ideal seorang gadis yang selalu jadi pembicaraan teman-temanku. Gurat-gurat kecantikan masih tersayat jelas di garis matanya.
Rambut hitam tebal berombak dan berkilau. Hanya perutnya yang kelihatan agak tambun, karena aku pikir dia mulai jarang berolahraga. Lagian, mustahil menuntut kesempurnaan karena diriku bukan pemilik kesempurnaan itu.