"Sekarang bisnis apa, Mas?" begitu sapa Wawan Sugianto, bos Soto Madura Wawan, saat bertemu saya di Kaza City Mall Surabaya, beberapa waktu lalu.
"Belum ada, Mas."
"Ayok, bikin. Apa yang bisa saya bantu."
"Cari tanah yang masih murah. Bikin peternakan ayam atau bebek. Nanti bisa suplai di gerai-gerai saya."
Saya tersenyum menyambut ajakan Wawan, pebisnis kuliner sukses dan humble itu. Tawaran yang menarik. Meski untuk mewujudkannya tak mudah. Ibaratnya, tak seperti membalik tempe goreng. Â
Saya mencoba menjajaki detailnya. Menghitung berapa luas lahan yang dibutuhkan, lokasi yang memungkinkan untuk peternakan, kapasitas ayam maupun bebek per harinya, berapa bulan bisa menjualnya, dan masih banyak lagi.
Wawan tersenyum mendengar ocehan saya. Ini membuat saya salah tingkah. Barangkali, di benak Wawan, dia sekarang bukan berbicara dengan pebisnis. Tapi seorang jurnalis dan peneliti. Jadi, diskusinya harus panjang. Perlu survei, menjajaki potensi pasar, menghitung peluang, wis pokoknya agak ribet lah, hehe.
Sama seperti saat saya bertemu Wawan pada tahun 2000. Di mana, saat saya menjadi jurnalis, saya pernah menyampaikan keinginan berbinis. Sebagai teman, Wawan siap membantu. Semampunya. Â
Saya mengajukan diri membeli franchise Soto Madura Wawan. Waktu itu, harganya masih Rp 22,5 juta. Saya diminta mencari tempat. Tidak perlu besar. Semua bahan dipasok manajemen Soto Wawan. Tinggal meracik saja. Urusan jual minuman dan makanan non soto menjadi hak saya. Wawan juga siap mentraining pegawainya. Gratis. Wawan juga membantu mempromosikannya.
Namun, setelah ditunggu lama, saya tak kunjung merealisasikannya. Tak ada kabar alias lenyap disapu angin puting beliung. Penyebabnya, saya tidak punya nyali dan mental untuk segera memulai berbisnis.Â
Saya berharap Wawan tak ingat kejadian itu. Namun ternyata dugaan saya meleset. "Dulu kan Mas juga mau beli franchise. Saya tunggu, waktu itu. Sekarang harganya sudah mahal, Mas," ucap Wawan. Â
Seketika, saya jadi celingukan. Agak malu dan tersenyum kecut. Dan, alasan paling memungkinkan saya sampaikan kepada Wawan adalah belum dapat tempat yang cocok. Juga masalah finansial. Hehe.. Â
***
Wawan Sugianto adalah potret pengusaha yang menikmati 'surga' bisnis kuliner. Dia merintis usaha tahun 1988. Pria kelahiran Bojonegoro, 1972 itu memulai bisnis dari nol. Dengan modal semangat dan bondo nekat (bonek). Kepiawaian berbisnis Wawan lebih banyak ditempa oleh alam. Belajar sambil bekerja.
Wawan bukan lahir dari keluarga pebisnis. Ayahnya seorang pamong desa. Wawan hanya mengenyam pendidikan sampai kelas empat sekolah dasar. Di sekolah, dia kerap diolok-olok temannya. Bahkan, ia sempat berantem dengan temannya gara-gara dia disebut anak bodoh.
Wawan kemudian mogok, gak mau sekolah. Orang tuanya bingung. Berulang kali dirayu agar kembali lagi ke sekolah, Wawan selalu menolak. Sekolah seperti "penjara" baginya. Â
Suatu ketika, Wawan menyampaikan keinginan merantau ke Surabaya. Waktu itu, usianya masih belasan tahun. Orang tuanya tak bisa mencegah. Dia kemudian diantar orang tuanya naik bus dari Bojonegoro ke Surabaya. Turun di Terminal Jembatan Merah.Â
Wawan lalu melamar kerja . Dia sempat menjadi penjaga toko. Kemudian diterima menjadi tukang cuci piring di salah satu hotel di Surabaya. Nah, di hotel itu, Wawan belajar memasak dari chef hotel tersebut. Memilih komposisi bahan, meracik bumbu, dan seterusnya.
Ketrampilan memasak Wawan cepat terasah. Chef yang mengajarinya sampai heran, kok Wawan bisa cepat menangkap apa yang diajarkan. Belakangan, chef tersebut baru tahu jika sejak SD, Wawan sudah bisa memasak masakan tradisional. Masa itu, banyak tetangganya di Bojonegoro yang punya hajatan minta Wawan membantu meracik bumbu agar masakan sedap dan lezat. Â
 Wawan kemudian berhenti kerja di hotel. Dia memberanikan diri berwiraswasta. Wawan membuka warung soto. Bahan sudah jadi dibeli dari H. Wachid. Dia pemilik warung Soto Kaliasin (saat itu, sangat terkenal di Surabaya).
Warung soto Wawan tidak langsung ramai. Butuh berbulan-bulan hingga dia bisa merasakan hasil dari menjual soto. Wawan menyapa semua pelanggannya dengan ramah. Berbagai kritik dan masukan konsumen diterima dengan lapang dada. Terlalu asin, kelewat pedas, kuahnya kurang gurih, dan masih banyak lagi.
Wawan lantas membuka gerai di Jalan Mayjen Sungkono 20, Surabaya. Soal brand-nya dia tak mau repot. Cukup menyebut Soto Madura Wawan. Kendati dia bukan orang Madura.
Sampai sekarang, Wawan masih ingat, Soto Madura Wawan dibuka pada tanggal delapan, bulan delapan, tahun sembilan belas delapan delapan (8/8/1988). Wawan tidak mengerti dan tidak pernah mau menafsirkan makna angka delapan itu. Keramat atau tidak. Tapi yang jelas, dalam menjalankan bisnis, ia yakin ada campur tangan Sang Khalik. Bahwa setiap usaha keras dan pantang menyerah pasti ada hasilnya.
***
"Saya lagi hobil keliling bandara. Seneng saja," begitu ucap Wawan Sugianto.
"Keliling bandara?"
Eh, ternyata saya baru ngeh kalau Soto Madura Wawan ada di beberapa bandara di Indonesia. Wawan kerap mengunjungi  dan melihat perkembangannya . Wawan men-franchise-kan dua brand miliknya.  Yakni, Soto Madura Wawan harganya Rp 400 juta. Satu lagi, Bebek Goreng Harissa yang di-franchise-kan Rp 700 juta.
Wawan mengaku kuwalahan memenuhi permintaan franchise. "Kalau ditotal sih ada 114 gerai di seluruh Indonesia. Saya buka juga buka gerai Arab Saudi. Tapi yang laris bukan soto, tapi nasi bebek goreng dan nasi goreng, hehe..."Â
Bandara juga jadi insiprasi Wawan. Karena di sana bisa menjual makanan dan minuman dengan harga relatif mahal dan laku. Menurut Wawan, jual makanan di Indonesia itu tak bisa ditakar oleh harga. Jual mahal bisa, jual murah juga bisa.
Itu sebabnya, Wawan tak khawatir bila ditanya berapa rate harga yang masuk akal untuk menjual makanan di Indonesia. Jual berapa saja Inshaa Allah laku. Mereka bisa makan di tempat yang menjual makanan murah, di pinggir jalan atau PKL. Namun sebaliknya, mereka juga tak segan makan di tempat mahal ketika harus menjamu keluarga dan kolega.
"Mungkin ada semacam "kewajiban" jika kita harus bisa menjamu tamu dengan baik."
Pengalaman Wawan, gerai-gerai Soto Madura Wawan atau Bebek Goreng Harissa di foodcourt tetap oke. Sementara saya jual premium dengan fasilitas AC dan tempat duduk nyaman, juga laris manis.
Soto Madura Wawan kini sudah merambah mal-mal terkemuka di Surabaya, Jakarta, bahkan luar negeri. Â Ketika bertemu saya tahun 2000, Wawan memiliki di 24 gerai. Â Kini sudah tembus 114 gerai. Â Â
Wawan mengaku "risih" jika ditanya kiat sukses mengelola bisnis. Dia selalu  bilang, bisnis ini belum apa-apa. Wawan hanya berpikir kalau bisnis butuh kepercayaan. Butuh pelayanan yang baik. Seperti halnya dia yang menerapkan standar kebersihan, kenyamanan, dan rasa. Tempat makan yang sedap dan bersih akan selalu dikangeni konsumen.
Begitu pun soal rasa, Wawan mengaku banyak gerai soto yang lezat. Namun, ia mengakui kalau soto racikannya menggunakan bumbu lebih tajam. Bawang putih dan jahenya lebih berasa. Yang penting lagi, sampai sekarang, Wawan mengaku tak pernah pakai bumbu penyedap.
Selain itu, ia selalu memakai bahan makanan yang fresh. Artinya, semua yang tidak terpakai harus habis hari itu juga. Nasi, misalnya, tiap hari harus ganti dan panas.
Suatu ketika, Wawan dikomplain Dahlan Iskan (Eks Menneg BUMN dan bos Jawa Pos Group). Ketika itu Dahlan mengajak makan teman-temannya di  gerai Soto Madura Wawan JX International Surabaya. Dahlan kecewa karena teh yang disajikan rasanya asam dan anyir.
Lantaran sudah kenal lama, Dahlan langsung menelepon Wawan. Dahlan beberkan keluhannya. Wawan menyampaikan permohonan maaf. Beberapa bulan kemudian, Wawan membeli pabrik teh di Ngawi. Dan semua teh di gerai Soto Madura Wawan menjadi terstandardisasi.
Begitu pula dengan penyediaan bebek dan distribusinya. Menjalankan usaha Bebek Harissa, Wawan menyiapkan peternakan di beberapa daerah di Jawa Timur. Di antaranya di Tulungagung, Trenggalek, dan Kediri. Karena itu, selain jual bebek yang sudah dimasak, ia juga menjual bebek yang masih mentah.
Wawan memang bukan sedang bermimpi memiliki aset miliaran dari bisnisnya. Kegigihan dan daya juang menekuni bisnis kuliner telah menolong ratusan orang hingga punya pekerjaan. Dia juga menjadi representasi pengusaha pribumi yang ulet, tangguh, dan tidak menikmati bisnis turunan. (agus wahyudi)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H