Tak lama, saya mendapat tawaran dari Lutfi Subagio (sekarang CEO Mediatrust). Waktu itu, dia menjabat redaktur Suara Indonesia (Jawa Pos Group). Saya tentu sangat antusias.
"Tapi statusmu magang dulu. Karena kamu masih kuliah," ucap Lutfi.
"Gak masalah."
Saya kemudian diminta menemui Nany Wijaya. Dia bos Jawa Pos dan Suara Indonesia. Pagi, sebelum jam sembilan, saya harus sudah di kantor. Saya menyanggupi.
Singkat cerita, pagi itu, Nany Wijaya keluar ruangan dari rapat redaksi Suara Indonesia. Mengenakan kemeja putih dan celana jins. Kacamatanya ditempelkan di kepala. Nany menentang segelas kopi yang sudah tinggal ampasnya.
"Mbak Nany, saya mau magang di sini," tegus saya.
Nany Wijaya terdiam. Sesaat, dia melihat Lutfi keluar ruangan. "Eh, kamu sudah menyiapkan orang, ya," sebut Nany.
Lutfi berpura-pura tak tahu sambil hanya cengengesan. Saya hanya terdiam.
"Sudah, kamu temui Pak Hardianto (bagian SDM). Sore, kamu ke sini, ya. Ikut rapat redaksi," tegas Nany, lalu ngeloyor pergi.
Ketika itu, Suara Indonesia merupakan koran ekbis. Saya tak punya background pendidikan dan tak pernah menulis ekonomi dan bisnis.
Saya diminta redaktur learning by doing. Belajar sambil liputan. Mencari berita ritel dan ekonomi mikro. Setiap hari saya menulis dua-tiga berita. Bahkan bila hari Sabtu dan hari besar, saya menulis lima berita.