Saya mengikuti proses seperti lazimnya menjadi mahasiswa baru. Ikut orientasi studi dan pengenalan kampus (Ospek). Mengerjakan tugas, mengikuti seminar tentang Pancasila, upacara, kerja bakti, dan masih banyak lagi.
"Yang paling menyenangkan, kini saya punya KTM, hehe..."
Tahun pertama kuliah, saya sangat bersemangat menulis. Dengan bekal KTM itu, saya mengirim tulisan di banyak media. Ada yang dimuat, tak sedikit juga yang ditolak. Saya tidak membuang artikel yang ditolak. Biasanya, saya perbaiki lagi, kemudian saya kirim ke media lain.
Aktivitas menulis membuat nama saya dikenal. Setidaknya di lingkungan kampus. Beberapa dosen akhirnya mengenal saya dan sering mengajak diskusi. Mereka kebanyakan terinspirasi dan ingin menulis juga.
Yang paling berkesan pada tahun 1998. Ketika itu, Jawa Pos menurunkan serial tulisan opini terkait lahirnya partai-partai baru di era reformasi. Dari seleksi, artikel saya masuk.Â
Kala itu, Jawa Pos membuat pengantar dengan mencantumkan siapa penulis yang masuk dalam sesi opini tersebut. Yakni, KH Agoes Ali Masyhuri (Pengasuk Pondok Pesantren Bumi Shalawat Sidoarjo), Priyatmoko (dosen Unair), Haryadi (dosen Unair), Bagong Suyanto (dosen Unair), Maulidin (mahasiswa Unair), dan Agus Wahyudi (Mahasiswa Unmuh Surabaya).Â
Artikel saya tayang terakhir. Selama beberapa hari menunggu, ada beberapa teman yang sudah tahu. Saya mendapat ucapan selamat dari teman dan dosen. Saya menunggu penayangan artikel dengan deg-degan.
Dalam artikel yang dimuat di Jawa Pos itu, saya menyoroti kiprah Amien Rais dengan partai barunya. Tidak semua orang senang. Beberapa kalangan sempat tidak nyaman dengan tulisan saya. Waktu itu, nama Amien Rais memang hits. Julukannya keren: tokoh reformasi, lokomotif reformasi, king maker, dan lainnya.
Saya anggap wajar jika Amien Rais punya banyak pendukung. Dan ketika ada yang tidak puas, saya kemudian menjawab, "Tulisan ya dibalas dengan tulisan. Biar ada dialog yang sehat."
***
Semasa kuliah, saya diajak teman membantu di Tabloid Matahari. Media milik Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur. Saya menyanggupi. Namun sayang, media tersebut tidak bertahan lama. Gak sampai setahun gulung tikar.Â