Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Kuliah Bukan Kejar Prestasi, tapi Bertahan Hidup

21 Desember 2019   11:45 Diperbarui: 22 Desember 2019   04:47 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kadang kita terlalu banyak berdebat soal bakat. Sementara jutaan orang bisa melenggang dengan karya-karya hebat, tanpa pernah ribet membincang alasan punya bakat."

Tahun 1993, saya memantapkan niat untuk aktif menulis. Saya menarget bisa menulis artikel paling tidak seminggu dua kali. Dan dimuat di media mainstream. 

Artikel yang panjang. Biasanya yang disyaratkan media 800-1.200 kata. Saya juga bermimpi bisa menulis di rubrik opini. Bersama penulis-penulis hebat yang sudah punya nama. 

Aktivitas menulis makin giat saya lakukan. Saban hari, saya menyempatkan menulis. Tidak utuh. Potongan-potongan ide saya kumpulkan. Seringnya, saya catat dalam notes. Kemudian saya ketik di komputer. Biasanya, inspirasinya dari fenomena sosial di masyarakat. Juga dari forum-forum diskusi.

Bila potongan ide sudah terkumpul, saya menjahitnya. Memilah sudut pandang. Saya mencari referensi tambahan dari buku-buku yang tertata rapi milik Rosdiansyah, kawan diskusi yang paling mengasyikkan. Tak jarang juga melihat kliping koran.

Saya punya "prime time" dalam menulis. Yakni, setelah salat Subuh sampai Dhuha. Dua-tiga jam. Setelah itu, saya menyibukkan diri dengan membaca buku. Atau menghadiri seminar dan diskusi.

Rosdiansyah mengajari saya untuk selalu pegang stabilo saat membaca buku. Itu untuk menandai bila ada yang penting dan harus diingat. Cara itu cukup ampuh. Saya jadi lebih mudah mengingat pernyataan, kutipan, maupun paradigma. 

Setiap menyelesaikan artikel, saya membaca ulang. Tiga sampai empat kali. Mengeliminasi kesalahan sekecil-kecilnya. Dari kerancuan logika sampai typo. 

Saya juga selalu mematuhi panjang tulisan yang disyaratkan masing-masing pengasuh rubrik di media. Jika ditetapkan panjang tulisan tidak lebih 1.000 kata, misalnya, saya mematuhinya.

Pernah ada yang tanya, "Lha, itu kan tugas penyunting?" Benar. Tapi memenuhi syarat itu juga jadi perhatian. Sebab, saya pernah dengar keluhan seorang editor. 

Dia merasa kurang nyaman bila menerima naskah tulisan panjang. Melebihi yang disyaratkan. Bahkan ada yang tiga kali lipat panjangnya dari yang ditentukan. Hal itu acap membuat dirinya gak mood.

Tiap artikel selesai, saya selalu mencari pinjaman Kartu Tanda Mahasiswa (KTM). Ya, karena kala itu saya belum kuliah. Kalau sebelumnya kawan mahasiswa yang kebetulan bertetangga, kali ini saya juga meminjam KTM kakak perempuan. Jadi, artikel saya bisa atas nama cowok, tapi bisa juga atas nama cewek. Saya fine-fine aja. Karena tujuan saya bisa mendapat honorarium.

Aktivitas itu berjalan hampir setahun. Tiap bulan, saya mendapat pemasukan dari honor menulis. Kadang bisa 2-3 kali dari media yang berbeda. Besarnya lumayan lah, hehe...

Suatu ketika, saya ditegur Cholis Akbar (kini redaktur pelaksana Suara Hidayatullah). Ini setelah dia membaca tulisan atas nama bukan saya yang dimuat di sebuah koran ternama.

"Kamu kok nulis bukan atas namamu sendiri?"

"Iya, Cak. Saya gak punya kartu mahasiswa (KTM)."

"Ya, kamu harus kuliah. Daftar ke perguruan tinggi. Biar nanti dapat kartu mahasiswa."

"Duitnya?"

"Sisihkan honormu nulis. Wis talah, isok-isok."

Saya terdiam. Saya kaget juga dengan usulan Cholis tersebut. Tidak mungkin saya terus-terusan melakukan aktivitas seperti ini. Saya harus kuliah dan dapat KTM. Dengan begitu, saya bisa menulis atas nama sendiri.

***

Pilihan jatuh masuk Universitas Muhammadiyah Surabaya. Di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Bahasa Inggris. Ada dua alasan memilih jurusan tersebut. 

Pertama, saya pernah ikut kursus Bahasa Inggris sampai Intermediate I di sebuah lembaga bimbingan belajar di Surabaya. Harapannya, saya tidak kelewat terbebani mengikuti mata kuliah yang diajarkan.

Kedua, biaya masuk kuliah bisa dicicil. Saya dimudahkan dengan bantuan teman aktivis mahasiswa Muhammadiyah. Mereka ikut 'melobi' jajaran rektorat agar saya diberi dispensasi waktu pembayaran.

Menunggu hingga empat tahun. Ya, akhirnya saya bisa kuliah setelah lulus SMA, tahun 1990. Saya sungguh bersyukur. Gak menyangka mendapat berkah bisa melanjutkan studi ke perguruan tinggi.

Yang bikin senang juga, saya membiayai kuliah sendiri. Sebab, masa itu, di keluarga kami berkomitmen, jika ingin kuliah harus kerja dulu. Cari duit sendiri. Orang tua tak punya budget untuk biaya kuliah.

Saya mengikuti proses seperti lazimnya menjadi mahasiswa baru. Ikut orientasi studi dan pengenalan kampus (Ospek). Mengerjakan tugas, mengikuti seminar tentang Pancasila, upacara, kerja bakti, dan masih banyak lagi.

"Yang paling menyenangkan, kini saya punya KTM, hehe..."

Tahun pertama kuliah, saya sangat bersemangat menulis. Dengan bekal KTM itu, saya mengirim tulisan di banyak media. Ada yang dimuat, tak sedikit juga yang ditolak. Saya tidak membuang artikel yang ditolak. Biasanya, saya perbaiki lagi, kemudian saya kirim ke media lain.

Aktivitas menulis membuat nama saya dikenal. Setidaknya di lingkungan kampus. Beberapa dosen akhirnya mengenal saya dan sering mengajak diskusi. Mereka kebanyakan terinspirasi dan ingin menulis juga.

Yang paling berkesan pada tahun 1998. Ketika itu, Jawa Pos menurunkan serial tulisan opini terkait lahirnya partai-partai baru di era reformasi. Dari seleksi, artikel saya masuk. 

Kala itu, Jawa Pos membuat pengantar dengan mencantumkan siapa penulis yang masuk dalam sesi opini tersebut. Yakni, KH Agoes Ali Masyhuri (Pengasuk Pondok Pesantren Bumi Shalawat Sidoarjo), Priyatmoko (dosen Unair), Haryadi (dosen Unair), Bagong Suyanto (dosen Unair), Maulidin (mahasiswa Unair), dan Agus Wahyudi (Mahasiswa Unmuh Surabaya). 

Artikel saya tayang terakhir. Selama beberapa hari menunggu, ada beberapa teman yang sudah tahu. Saya mendapat ucapan selamat dari teman dan dosen. Saya menunggu penayangan artikel dengan deg-degan.

Dalam artikel yang dimuat di Jawa Pos itu, saya menyoroti kiprah Amien Rais dengan partai barunya. Tidak semua orang senang. Beberapa kalangan sempat tidak nyaman dengan tulisan saya. Waktu itu, nama Amien Rais memang hits. Julukannya keren: tokoh reformasi, lokomotif reformasi, king maker, dan lainnya.

Saya anggap wajar jika Amien Rais punya banyak pendukung. Dan ketika ada yang tidak puas, saya kemudian menjawab, "Tulisan ya dibalas dengan tulisan. Biar ada dialog yang sehat."

***

Semasa kuliah, saya diajak teman membantu di Tabloid Matahari. Media milik Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur. Saya menyanggupi. Namun sayang, media tersebut tidak bertahan lama. Gak sampai setahun gulung tikar. 

Tak lama, saya mendapat tawaran dari Lutfi Subagio (sekarang CEO Mediatrust). Waktu itu, dia menjabat redaktur Suara Indonesia (Jawa Pos Group). Saya tentu sangat antusias.

"Tapi statusmu magang dulu. Karena kamu masih kuliah," ucap Lutfi.

"Gak masalah."

Saya kemudian diminta menemui Nany Wijaya. Dia bos Jawa Pos dan Suara Indonesia. Pagi, sebelum jam sembilan, saya harus sudah di kantor. Saya menyanggupi.

Singkat cerita, pagi itu, Nany Wijaya keluar ruangan dari rapat redaksi Suara Indonesia. Mengenakan kemeja putih dan celana jins. Kacamatanya ditempelkan di kepala. Nany menentang segelas kopi yang sudah tinggal ampasnya.

"Mbak Nany, saya mau magang di sini," tegus saya.

Nany Wijaya terdiam. Sesaat, dia melihat Lutfi keluar ruangan. "Eh, kamu sudah menyiapkan orang, ya," sebut Nany.

Lutfi berpura-pura tak tahu sambil hanya cengengesan. Saya hanya terdiam.

"Sudah, kamu temui Pak Hardianto (bagian SDM). Sore, kamu ke sini, ya. Ikut rapat redaksi," tegas Nany, lalu ngeloyor pergi.

Ketika itu, Suara Indonesia merupakan koran ekbis. Saya tak punya background pendidikan dan tak pernah menulis ekonomi dan bisnis.

Saya diminta redaktur learning by doing. Belajar sambil liputan. Mencari berita ritel dan ekonomi mikro. Setiap hari saya menulis dua-tiga berita. Bahkan bila hari Sabtu dan hari besar, saya menulis lima berita.

Mbak Wijaya, begitu dia karib disapa, melihat perkembangan saya. Tepat dua minggu, dia mendatangi meja saya. Dia bilang, "Kamu bisa nulis, ya. Sudah, lanjutkan."

Saya tak menjawab. Hanya tersenyum. Rupanya, kata "lanjutkan" itu kode dari Mbak Nany. Beberapa redaktur kemudian memberi tahu kalau saya bukan dianggap magang lagi, tapi menjadi jurnalis. 

Selain gaji bulanan, juga dapat uang makan. Hanya, untuk tunjangan, harus menunggu pengangkatan sebagai pegawai. Dan saya harus bisa menyerahkan ijazah sebagai bukti lulus kuliah. Itu sebagai syarat administratif yang harus dipenuhi.

Selain sebagai jurnalis, aktivitas menulis saya gak berhenti. Mengirim artikel di berbagai media massa. Bukan cuma opini, tapi juga resensi buku dan cerpen. Saya kini punya dua kolom pemasukan. Tentu saja untuk biaya kuliah bisa terkover.

Soal prestasi kuliah? Ah, saya tidak kelewat berpikir. Bagi saya lulus sudah cukup. Yang penting, dari kampus saya bisa mendulang rupiah dan bertahan hidup.

Masa itu, saya benar-benar merasakan jika menulis memberi nilai lebih. Menulis menjadi aktivitas yang makin mahal. (agus wahyudi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun