Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama FEATURED

7 Stafsus Milenial Masuk Istana, Ini Pandangan Bapak Statistika Indonesia

24 November 2019   06:15 Diperbarui: 16 April 2020   10:13 4115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut Kresnayana, generasi yang dia sebutkan itu, butuh panduan, peta, dan pendalaman. Mereka kini sedang bergerak dan berolah karya. Mewakili beragam bidang finansial, olah kreatif, sampai yang berkebutuhan khusus.  Aspirasi dan pandangan kelompok ini memerlukan penyaluran ide dan pola tindakan. Sehingga mereka bisa membuat perencanaan sebelum melangkah.

Stafsus milenial, imbuh Kresnayana, harus jadi mata telinga dan pembuat analisa. Bagaimana seharusnya kebijakan pemerintah memberi ruang yang lempang kepada milenial agar bisa berpartisipasi dan berkontribusi bagi bangsa dan masyarakat.  

Kata Kresnayana, persoalan terbesar sekarang adalah tidak relevannya pola pendidikan dengan tantangan pekerjaan serta menjadikan kekuatan kreatif milenial.

"Ini saya bilang gagal sambung. Salah mindset. Sebagian besar karena tekanan orang tua. Yang menghargai pekerjaan sebatas pegawai. Sebatas pegawai negeri atau pegawai BUMN. Pilihan bekerja di bidang-bidang yang aman dan tertentu saja," jabar Chairperson Enciety Business Consult ini.

Padahal, realitanya, kebutuhan transformasi terbesar adalah pekerjaan dan peran-peran baru. Yang tidak disiapkan pendidikan dan tidak di-support orangtua dan keluarga. Seperti kebutuhan lahirnya new entrepreneur dalam bidang soisial, pertanian, perikanan, peternakan, serta startup. Ini tidak pernah terjadi karena contoh, teladan, dan harapan orang tua tidak banyak mendukung, memberi support dan memfasilitasinya.

Milenial lahir dan dibesarkan dalam ekosistem berbeda. Perjuangan tidak pernah jadi pertimbangan. Memecah tradisi dan menemukan ruang berkiprah yang baru untuk masa depan sangat miskin dalam perbendaharaan mereka. Celakanya, kondisi pendidikan masih sama: target lulus dengan nilai tinggi. 

Cita cita jadi pegawai menghambat lahirnya pelopor dan pemimpin baru. Yang mengerti dan memahami kehidupan era informasi dan tantangan hadirnya society 5.0 dan industry 4.0.

Manajemen perubahan tidak dimulai dengan perubahan kurikulum pendidikan dasar dan pengembangan pribadi. Manajemen perubahan butuh kemampuan mendobrak, menerobos, dan membentuk kultur kerja yang sangat beragam spektrumnya, bermodal kompetensi IT, dan menumbuhkan entrepreneurial action.

"Sebagian besar hidup di zona nyaman masa lalu," cetus Kresnayana.

Lantas, sejauh mana efektivitas stafsus milenial masuk istana? Menurut Kresnayana, bekal utama adalah kemampuan membaca dan merefleksikan kebutuhan masa depan Indonesia. Juga kemampuan memberi keteladanan serta menjadikan pengalaman dan kepeloporan.

"Bukti dan teladan sangat penting. Milenial selalu cari jalan dan mencoba hal baru. Jadi butuh inspiratory kepeloporan. Ini juga untuk mendobrak tradisi dan salah anggapan di kalangan milenial," ujar Kresnayana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun