Mirna, istriku, tersentak mendengarnya. Aku tak tahu tiba-tiba ia sudah berada di sampingku. Aku meliriknya. Nampak jelas, gurat-gurat kecemasan dari rona mukanya. Tapi Mirna tak mau berkomentar.
Aku serahkan surat itu pada Mirna. Dia lalu membaca. Sesekali ia melirik aku dengan lembutnya. Lirikan Mirna memang dahsyat yang kukenang sepanjang masa.
Nasibku kini sama dengan rekan-rekan seniorku. Aku harus ikut pelatihan, yang pernah kuceritakan padamu sebelumnya. Kenapa di usia senja, aku justru merasa kelimpungan seperti ini. Aku begitu gagap menatap hari esok. Seolah, pupus sudah harapan yang aku gantungkan semasa aku masih jadi anak emas perusahaan.
"Lantas?" suara Mirna mengalir diselaputi kecemasan.
"Ya, jelas to. Kira-kira setahun lagi, nggak sampai lah, kira-kira sembilan bulan, aku akan pensiun. Lalu, perusahaan mengundang konsultan bisnis. Seolah-olah ngajari aku agar bisa kerja mandiri selepas pensiun nanti.
Intinya, aku dibikin agar tidak usah cemas bila nanti sudah tak bekerja. Itu tujuan ikut pelatihan ini, Ma?"
"Tapi, apa salahnya ikut pelatihan, Mas?"
"Aku ini sudah tua, Ma. Mau wiraswasta macam apa, sih? Kalau memang mau mempensiun aku, ya sudah bicarakan saja berapa uang pesangonnya. Berapa kali gaji dan tunjanganku yang akan dibayar, kan beres."
"Sama asuransinya kesehatan dan keselamatan kerja itu, bagaimana? Nggak usahlah pakai maksa ikut pelatihan segala. Bikin aku makin merintih saja,
Mirna tersedak mendengar jawabanku.
"Memang ada paksaan?" sahut Mirna.