Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pensiun

30 September 2019   14:25 Diperbarui: 30 September 2019   14:37 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: lifealth.com

Akhirnya datang juga panggilan itu. Sepucuk surat dalam amplop cokelat kuterima dari seorang kurir, siang ini. Bergegas kubuka. Ah, benar juga dugaanku. Namaku masuk dalam list peserta pelatihan bagi calon purna tugas.

Aku segera melipatnya, lalu memasukkan lagi ke amplop. Menunggu istriku pulang yang menjemput anakku-anakku dari les karate. Surat itu, akan kuberikan setelah sebelumnya dia telah kuberitaku jika jika karirku tak lama lagi akan berakhir.

Dalam diam, aku membayangkan hari-hari nanti. Hari-hari nan sepi. Masih kah ada orang yang meneleponku? Mengajak bertemu untuk berdiskusi dan berkonsultasi sambil minum kopi? Berapa banyak kolega dan sahabatku yang tak akan memedulikanku lagi?

Pernyataan itu bergelayutan di pikirannku. Karena para seniorku dulu rata-rata mengaku stres bukan karena gak ada kerjaan. Tapi tak ada lagi teman yang mau meneleponnya, meski hanya sekadar menayakan kabar.   

 Lamunanku kemudian melesat jauh. Kali ini, membayangkan masa begitu bergairahnya bekerja. Bertugas hingga larut, bahkan sampai dinihari. Meski aku harus keterima cibiran sebagai sosok asosial lantaran tak punya waktu bermasyarakat.

Saban bulan, aku terima gaji. Lebih dari cukup. Ditambah tunjangan prestasi dan keluarga. Tak ada masalah serius dengan kebutuhan periuk nasiku. Aku masih bisa nabung, kuhitung benar berapa zakat yang harus kukeluarkan. Betapa bahagianya aku melihat senyum riang ketiga buah hatiku saat mereka kuajak bertamasya.

Kala itu, berbagai peluang yang ditawarkan pimpinan kepadaku teramat lempang. Mulai dari kenaikan jabatan, bonus, sampai kesempatan melakukan lawatan ke luar negeri. Terlalu dekat bagiku untuk meraih segala impian. Hampir-hampir tak ada jarak antara aku dan pimpinanku.

Tapi, kegairahan itu berasa sekejap. Di usiaku kini, aku makin terpinggirkan. Setelah masuknya 62 tenaga kontrak. Usianya tak lebih dari 27 tahun. Mereka benar-benar jadi petaka bagiku. Pimpinanku tidak lagi melirik diriku. Aku sudah dianggap lamban.

Tiga tahun terakhir, aku tak lagi memegang memimpin divisi promosi dan pemasaran. Aku ditempatkan sebagai pengawas. Posisi baru ini membuatku bingung. Karena sesungguhnya tak pernah jelas apa yang harus kuawasi.

Suatu ketika, aku pernah mengeluhkan posisiku kepada Burhan, atasanku kini. Usianyanya hanya selisih setahun denganku. Namun nasib Burhan lebih beruntung ketimbang diriku.

"Han, sesungguhnya apa yang bisa kulakukan agar aku bisa merasa lebih bermartabat bekerja di sini?"

"Apakah perusahaan sudah tak mau memakai tenagaku lagi, Han?" aku menatap mata Burhan agak kesal.

Burhan semula tak menjawab. Ia alihkan pembicaraan bertanya kabar istri dan anak-anakku.

"Semuanya baik-baik, Han. Tolong kamu jawab lah pertanyaanku."

Burhan mengeryitkan alis. "Ini jujur, Mas. Tidak ada apa-apa. Mas jalani saja."

"Han, kejujuran yang kamu ucapkan berulang-ulang itu mendekatkan pada kepalsuan. Berterus-teranglah!"

Burhan terdiam. Dia lantas bilang, "Ini tuntutan manajemen, Mas. Ini keniscayaan."  

"Keniscayaan? Maksudmu, apa? Sudah lima tahun gajiku nggak naik. Begitu pun jabatanku. Semua aku terima. Aku dedikasikan hiduoku di sini tidaklah ringan, Han. Sekarang kamu bilang keniscayaan, tuntutan manajemen, manajemen yang mana?"

"Mas, kalau boleh aku beri saran, lakukan saja yang ada sekarang dengan sabar. Pasti ada berkah lain," Burhan beranjak dari kursinya, lalu meremas pundakku.

Aku terdiam. Sungguh tak bijak menuntut kelewat banyak kepada Burhan. Dia sesungguhnya tak jauh beda denganku. Sama sebagai buruh. Kalau pun Burhan kini menjabat manager personalia, itu tak lebih dari buruh yang dimanagerkan. Jika perusahan bosan, dia pun bisa ditendang juga seperti diriku.

***

Lalu, bagaimana penghormatan perusahaan terhadap dedikasiku selama ini! gumamku setelah membaca isi surat itu.

Mirna, istriku, tersentak mendengarnya. Aku tak tahu tiba-tiba ia sudah berada di sampingku. Aku meliriknya. Nampak jelas, gurat-gurat kecemasan dari rona mukanya. Tapi Mirna tak mau berkomentar.

Aku serahkan surat itu pada Mirna. Dia lalu membaca. Sesekali ia melirik aku dengan lembutnya. Lirikan Mirna memang dahsyat yang kukenang sepanjang masa.

Nasibku kini sama dengan rekan-rekan seniorku. Aku harus ikut pelatihan, yang pernah kuceritakan padamu sebelumnya. Kenapa di usia senja, aku justru merasa kelimpungan seperti ini. Aku begitu gagap menatap hari esok. Seolah, pupus sudah harapan yang aku gantungkan semasa aku masih jadi anak emas perusahaan.

"Lantas?" suara Mirna mengalir diselaputi kecemasan.

"Ya, jelas to. Kira-kira setahun lagi, nggak sampai lah, kira-kira sembilan bulan, aku akan pensiun. Lalu, perusahaan mengundang konsultan bisnis. Seolah-olah ngajari aku agar bisa kerja mandiri selepas pensiun nanti.

Intinya, aku dibikin agar tidak usah cemas bila nanti sudah tak bekerja. Itu tujuan ikut pelatihan ini, Ma?"

"Tapi, apa salahnya ikut pelatihan, Mas?"

"Aku ini sudah tua, Ma. Mau wiraswasta macam apa, sih? Kalau memang mau mempensiun aku, ya sudah bicarakan saja berapa uang pesangonnya. Berapa kali gaji dan tunjanganku yang akan dibayar, kan beres."

"Sama asuransinya kesehatan dan keselamatan kerja itu, bagaimana? Nggak usahlah pakai maksa ikut pelatihan segala. Bikin aku makin merintih saja,

Mirna tersedak mendengar jawabanku.

"Memang ada paksaan?" sahut Mirna.

Aku menatap Mirna yang sore itu terlihat lebih tegar. Tanpa skenario, keceritakan nasib rekan-rekan seniorku yang sudah ikuti pelatihan bisnis. Kata mereka, empat hari bersandiwara. Tersenyum, bertepuk tangan, dan manggut-manggut. Itulah yang mereka berikan sebagai jawaban tatkala para konsultan bisnis memberikan kursus kilat kiat sukses menyiasati hidup.

Seperti cerita tentang air. Ada konsultan yang bilang, hanya dengan air kita bisa survive melakoni hidup, asal kita kreatif. Air, kalau hanya dibekukan menjadi es, tentu harganya tak seberapa. Bandingkan kalau air yang dibekukan jadi es, kemudian dibumbui buah-buahan, sirup, susu, cincao. Nah, jadinya kan es campur. Nilainya pasti berbeda. Keuntungan yang diperoleh juga berbeda, kata seorang konsultan bisnis yang kerap menjadi narasumber di berbagai media elektronik.

Mendengar itu, rekan-rekan seniorku bertepuk tangan, tersenyum, lantas manggut-manggut. Ya, minimal kita bisa buka warung, lah, celoteh mereka.

Masih ada saran lagi. Katanya, berbisnis itu juga harus didukung penampilan. Dalam bisnis harus memperhatikan body odor (BO) alias bau badan. Iklan-iklan BO sudah ada sejak zaman Belanda yang dipasang di stasiun-stasiun kereta api. BO bisa menjadi penyebab gagalnya bisnis karena klien akan merasa terusik, tidak nyaman, begitu ucap konsultan. Rekan-rekan seniorku kembali manggut-manggut, tersenyum lagi.

Yang paling aku nggak bisa, nanti aku harus membuat surat pamitan yang di tempel di papan pengumaman kantor. Semua teman sekantorku dulu akan membaca.

Di perusahaanku, memang ada tradisi membuat surat pamit sebelum pensiun. Itu sangat menyesakkan. Sudah tak terhitung lagi berapa kali air mataku meleleh membaca surat pamitan rekan-rekanku. Terakhir, Mas Wandi. Jabatan terakhirnya staf desain grafis. Di akhir suratnya ia bertutur,

"...andaikan perusahaan ini masih mau menerima saya, mungkin aku masih melihat senyum rekan-rekanku yang renyah. Tapi umur tak bisa ditolak!. Aku pensiun, ya?

***

Pagi betul aku berangkat ke kantor. Aku tak ingin terlambat ikut pelatihan bisnis. Dengan merenda berbagai harapan, aku memilih duduk di barisan kedua dari depan, di ruang rapat direksi, tempat pelatihan.

Beberapa saat, Burhan datang bersama seseorang yang kemudian diperkenalkan sebagai konsultan bisnis ternama. Banyak buku-buku karyanya yang telah ditulis, dan menjadi bestseller. Bahkan, sebagian bukunya sudah dijual di luar negeri.

Satu jam lebih aku mendengarkan ceramahnya. Sebagian besar sama persis yang diceritakan para seniorku. Ketika dibuka sesi tanya jawab, pertanyaan pun mengalir. Sampai di akhir ceramahnya, konsultan itu mengajak semua peserta mengikuti pekikan dengan mengepalkan tangan, "Sukses, yes. Sukses, yes...

Aku menoleh sekeliling ruangan. Kulihat wajah teman-temanku yang teramat ceria. Mereka bersemangat mengikuti ajakan sang konsultan.

Tiba waktu azan zuhur, saat jam istirahat, teman-temanku berkumpul di samping musala. Tak satu pun keriangan tersibak di antara wajah mereka. Raut muka mereka tampak tak bertenaga.

Kudengar suara Mas Narto, temanku duduk sempat tak tenang gara-gara letikan asap rokok kretek yang diisapnya menyambar bajunya. Dia bertanya kepadaku, "Kamu sudah buat surat pamitan?"

"Belum, kenapa?"

"Tiap malam aku mencoba menulis surat itu, tapi tak pernah jadi,"
Mas Narto mengaku dengan muka tanpa ekspresi.

Dia mengambil lipatan kertas dari dompetnya, lalu ditunjukkan padaku. Dari empat baris tulisannya, semua ada coretannya. Hanya sepenggal kalimat masih bisa terbaca: "Sampai kapan aku harus memasung wajah seperti kambing congek?" (agus wahyudi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun