"Apakah perusahaan sudah tak mau memakai tenagaku lagi, Han?" aku menatap mata Burhan agak kesal.
Burhan semula tak menjawab. Ia alihkan pembicaraan bertanya kabar istri dan anak-anakku.
"Semuanya baik-baik, Han. Tolong kamu jawab lah pertanyaanku."
Burhan mengeryitkan alis. "Ini jujur, Mas. Tidak ada apa-apa. Mas jalani saja."
"Han, kejujuran yang kamu ucapkan berulang-ulang itu mendekatkan pada kepalsuan. Berterus-teranglah!"
Burhan terdiam. Dia lantas bilang, "Ini tuntutan manajemen, Mas. Ini keniscayaan." Â
"Keniscayaan? Maksudmu, apa? Sudah lima tahun gajiku nggak naik. Begitu pun jabatanku. Semua aku terima. Aku dedikasikan hiduoku di sini tidaklah ringan, Han. Sekarang kamu bilang keniscayaan, tuntutan manajemen, manajemen yang mana?"
"Mas, kalau boleh aku beri saran, lakukan saja yang ada sekarang dengan sabar. Pasti ada berkah lain," Burhan beranjak dari kursinya, lalu meremas pundakku.
Aku terdiam. Sungguh tak bijak menuntut kelewat banyak kepada Burhan. Dia sesungguhnya tak jauh beda denganku. Sama sebagai buruh. Kalau pun Burhan kini menjabat manager personalia, itu tak lebih dari buruh yang dimanagerkan. Jika perusahan bosan, dia pun bisa ditendang juga seperti diriku.
***
Lalu, bagaimana penghormatan perusahaan terhadap dedikasiku selama ini! gumamku setelah membaca isi surat itu.