Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Membeli Kenangan

6 September 2019   13:03 Diperbarui: 8 September 2019   05:32 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi foto: Pixabay 

Kegembiranku menyeruak bertemu Mas Pudjo, sepekan setelah perayaan Agustusan di rumah makan kawasan Mayjen Sungkono, Surabaya. Kunjungan mantan kakak kelasku saat kuliah di Universitas Indonesia kali ini terbilang istimewa. Pasalnya, dia tidak datang sendirian, tapi bersama keluarganya.

Sudah empat tahun Mas Pudjo menetap di Erlangen, Jerman. Bekerja di perusahaan publishing  sebagai manager. Istrinya, Sylvia, perempuan berdarah Swiss-Kroasia, dokter ahli bedah jantung toraks. Dua putrinya, Diana dan Lily, buah perkawinan dengan Mbak Sita, juga ikut bersamanya.

Mas Pudjo banyak berubah. Setidaknya saat aku kenal sebelas tahun lalu. Sikapnya jauh lebih kalem dan berkesan ramah. Ia juga lebih banyak mendengar. Ngomongnya gak meledak-ledak, atau menyela pembicaraan bila dianggapnya kurang pas.

Mas Pudjo juga tak lagi memanjangkan rambut ikalnya. Atau membiarkan kumisnya lebat memanjang sampai menutupi hampir separo bibirnya. Yang berbeda, Mas Pudjo kini brewokan. Namun dia terlihat lebih bersih, rapi, dan agak gemukan.

"Ini istriku, Sylvia. Dia bekerja di HNO-Klinik. Baru sekali ini dia ke Surabaya."

"Ngomong Indonesianya hampir fasih, lho. Ia juga penggemar karya-karya Pramoedya. Sama seperti kita saat yang pernah ngumpulin koleksi Pram hingga berburu ke pasar loak di Jalan Semarang," imbuh Mas Pudjo, lantas tersenyum.

"Oh, ya. Saya Faisal," aku menjabat tangan Sylvia seraya memperkenalkan diri.

Sylvia tersenyum ramah, lalu menanyakan kabar. Usia Sylvia itu hampir sama dengan anak pertama Mas Pudjo. Namanya Diana. Perempuan itu lebih tinggi dariku, sekitar 175 centimeter. Wajahnya oval, rambut tergerai lurus, dan basah. Melihat dia seperti melengkapi kerikuhanku yang selalu ingin berlama-lama melihat perempuan-perempuan Madura membiarkan rambut basahnya kering oleh desiran angin.    

Aku segera membayarnya keterpanaan. Mengganti topik pembicaraan. Ya, itu musti aku lakukan. Spontan, aku mencuilkan kabar tentang para pecinta buku Pram. Kataku, buku-buku Pramoedya Ananta Toer di tetraloginya, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca, bukan hanya masih banyak diburu peminatnya, tapi juga menggugah penasaran sebagian orang. Lokasi-lokasi yang ditulis di novel-novel itu pun ditelisik.

"Ada beberapa orang yang bernapak tilas. Kayak nyari rumah Nyai Ontosoroh, rumah mewah Robert Mellema di Wonokromo, atau mengunjungi pabrik gula di Tulangan, Sidoarjo," kataku, mencoba meyakinkan.

Sylvia terlihat penasaran sambil terus mendengarkan. Mas Pudjo pun begitu, mimiknya berubah serius. Sementara kedua anaknya sibuk dengan gadget plus headset di telinga.

Aku lantas menyebut nama Oei Hiem Hwie. Dia seorang jurnalis koran Trompet Masjarakat. Kala itu, koran jadi corong Soekarno. Kantor redaksinya dulu, sebelum tutup, di seberang Tugu Pahlawan.

Pak Wie, begitu aku karib menyapa, memang bukan sosok terkenal. Tapi dia sangat dekat dengan Pram. Sama-sama pernah ditahan di Pulau Buru. Dialah yang membantu Pram menulis karya-karya hebat yang lahir dalam dalam pengasingan.

"Dari Pak Wie lah saya dengar banyak cerita tentang Pram yang satire, sedih, sampai menggelikan. Kebiasaan Pram yang suka memanggil dengan suara lantang. Atau tajamnya daya ingat Pram terhadap suatu peristiwa."

Suatu ketika, Pram meminta bantuan Pak Wie untuk menemui seseorang yang berada di blok lain di Pulau Buru. Pram nitip pesan untuk menayakan beberapa hal. Pak Wie diminta mencatat dan mengingat. Tidak boleh mbleset. Karena jika salah, menurut Pram, akan berpengaruh besar pada naskah yang sedang ditulis.

Masa itu, namanya kertas sangat sulit. Karena keterbatasan, Pak Wie sampai harus memotong karung pembungkus semen untuk dipakai menulis. Ia juga berupaya merekam dalam memori otaknya. Tugas dilaksanakan. Setelah Pak Wie menjalani pemeriksaan sebelum menemui teman Pram tersebut. Wawancara pun dilakukan sembunyi-sembunyi.  

Semua bahan telah didapat Pak Wie. Dia bisa menyampaikan kepada Pram secara detail. Pak Wie menceritakan ulang hasil wawancaranya. Namun baru beberapa kalimat, tiba-tiba Pram memotong, "Wis cukup, cukup, Wie. Aku wis paham," begitu kata Pram.

Sontak, Pak Wie melongo. Bagaimana dengan banyaknya jawaban yang sudah ia tulis? Pak Wie tak bisa berkomentar. Belakangan, ia baru tahu bila Pram hanya butuh keterangan tempat dan waktu. Ini untuk memperkuat alur cerita. Dan, jari-jemari Pram menari-nari di atas mesin ketik dengan lincahnya.

"Apakah dia masih menyimpan manuskripnya?" Sylvia makin penasaran.

"Pak Wie menyimpan naskah asli dari hasil ketikan tangan Pram. Pram hanya minta fotokopiannya saja. Cuma Pram berpesan, naskah-naskah itu gak boleh diterbitkan," 

"Ah, benarkah? alasannya?"

"Seperti satu naskah berjudul Esiklopedia Nusantara. Pram mewanti-wanti Pak Wie agar naskah tersebut tidak diterbitkan sebelum ada seminar. Tapi sampai sekarang seminar itu gak pernah digelar, sampai Pram wafat," jawabanku ini membuat Syilvia dan Mas Pudjo terkesiap.

"Sudahlah, Mas. Itu tadi anggap intermeso."

"Oh, nggak. Ini menarik. Aku baru dengar dari Anda. Lalu, siapa yang membantu dia sekarang?"

"Pak Wie? Tidak ada, Mas. Di masa tuanya dia hanya tetap menulis dan membaca."

Rumah Pak Wie di Medokan Ayu, Surabaya, aku menimpali, dipakai untuk perpustakaan. Namanya Medayu Agung. Ada enam karyawan yang bekerja merawan ribuan buku, foto-foto, dan dokumen.

Pak Wie pernah dapat tawaran menggiurkan dari Charles Coppel dari University of Melbourne Australia. Intinya, mereka mamu membeli koleksi Pak Wie. Nilainya cukup gede, Rp 1 miliar. Charles Coppel ingin menjadikan koleksi Pak Wie buat pusat studi Indonesia di Australia. Namun Pak Wie menolak karena khawatir bukti-bukti sejarah yang ia punya akan diputarbalikkan.

Bekal menghidupi keluarga dan karyawannya, Pak Wie juga membuka warung, melayani kebutuhan warga sekitar rumahnya.

"Beberapa kali ia terima bantuan dari orang-orang yang peduli, namun hanya sporadis, gak rutin."

Pak Wie, aku menimpali, selalu bangga disebut segelintir orang yang tetap bersemangat menghidupkan budaya literasi.

"Meski juga ada yang menyebut Pak Wie sebagai pribadi yang suka merawat kenangan," ucapku.

Mas Pudjo dan Sylvia tersenyum. "Aku senang dengar ceritamu, Sal. Suatu ketika, aku ingin bertemu dengan dia," ucap Mas Pudjo, sesaat setelah seluruh makanan terhidang di meja.

***

Kalimat terakhir yang aku ucapkan ternyata membekas dalam batin Mas Pudjo. Bagian yang sepertinya aku lewatkan saat Mas Pudjo membagi kisah perjalanan hidupnya. 

"Ceritamu tentang dia menyentil kesadaranku, Sal. Indah benar arti kesetiaan, kenangan, komitmen. Ah, klise memang. Tapi itu sangat berarti bagiku."

Setiap datang ke sini, luapan memori itu mendera berat. Aku tak bisa melupakannya. "Aku mendapat kembali semua yang pernah kumiliki setelah bangkrut, Sal. Tapi bukan dengan Sita."

Aku sengaja tak menyela. Kupikir inilah saat tepat untuk diam dan mendengar. Aku tahu Mas Pudjo di pernah mengalami masa sulit, tapi tidak utuh. Ia seorang manager di perusahaan asing. Gaji tinggi dan tunjangan besar. Jauh mengalahkan manager-manager di perusahan lokal.

Mas Pudjo tinggalkan semua kemapanan itu. Mas Pudjo ingin curi peluang yang terbentang dalam luasan samudra. Usaha yang dirintisnya awalnya berjalan bagus-bagus saja. Terlebih Mas Pudjo dipercaya sebagai rekanan perusahaan asing tempat ia bekerja dulu.

Namun, badai krisis mendera dunia telah melipat semua harapan Mas Pudjo. Puncaknya, perusahaan Mas Pudjo layu, lalu perlahan mati. Bangkrut. Kepahitan bertambah ketika Mbak Sita memilih pulang ke Surabaya, dan menyerahkan kedua anaknya kepada Mas Pudjo untuk merawatnya.

"Kau mungkin gak percaya, aku pernah jualan jagung bakar di kawasan Senayan dan Medan Merdeka, dekat Monas. Mobil hartop satu-satunya yang tersisa aku punya yang kupakai jualan. Aku berhemat betul, Sal. Buat parkir pun aku hitung."

"Anak-anakku gak pernah tahu. Tahunya aku garap di proyek di Senayan," imbuh Mas Pudjo. 

Mas Pudjo melakoni semua itu setelah kawan-kawan dekatnya menjauh. Suatu kali, ia pun merasa amat sangat sendiri. Ketika mendapat kabar ayahnya meninggal, Mas Pudjo hanya bisa bercengkrama dalam kebingungan karena tak bisa pulang. Pinjaman uang yang diharapkan tak kunjung tiba.

Beberapa bulan berikutnya, giliran ibunya dipanggil Sang Khalik. Mas Pudjo juga hanya mengirim doa. Tangis Mas Pudjo pecah dalam keheningan doa panjangnya di sebuah musala di Kampung Rambutan.

***

Batas penderitaan itu selalu ada ujungnya. Meski tak ada yang mampu menerkanya. Misteri kehidupan banyak diucapkan orang, kendati dalam peradasan yakin dan ragu.

Mas Pudjo membuktikan itu. Mengapungkan optimisme. Bata ringan yang menjadi produk usaha barunya, perlahan menapaki jalan lempang. Membongkar pintu-pintu rezeki yang datang tanpa diduga-duga. Seperti resleting langit yang dibuka, lalu merontokkan berkah dan karunia. Pundi-pundi keuangan tumbuh bak buah stroberi yang mengular cepat di lereng gunung.

"Semua telah kembali. Bahkan jauh melebihi apa yang kudapatkan dulu. Namun perempuan itu, entahlah...," Mas Pudjo tidak melanjutkan ucapannya. Kali ini matanya berair.

"Mungkin kita bisa membeli pengalaman, tapi bukan untuk kenangan. Mas. Boleh saja kita membencinya, padahal bisa jadi itu yang terbaik buat Mas," aku mencoba menghibur.

"Menutup besi masa lalu jauh lebih berharga ketimbang menyakini dia akan kembali, Mas."

Matahari beranjak naik. Tanpa berasa makanan dan hidangan penutup hampir habis. Mas Pudjo memanggil waiter, lalu meminta bill. Ketika beranjak pergi terdengar merdu tembang Hadapi dengan Senyuman milik Dewa 19.

.... Hadapi dengan senyuman/semua yang terjadi biar terjadi/Hadapi dengan tenang jiwa/Semua 'kan baik-baik saja

Bila ketetapan Tuhan/Sudah ditetapkan/Tetaplah sudah/Tak ada yang bisa merubah/Dan takkan bisa berubah

Aku dan Mas Pudjo saling berpandangan, tanpa komando.

Pagi yang melegakan. (agus wahyudi) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun