Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Membeli Kenangan

6 September 2019   13:03 Diperbarui: 8 September 2019   05:32 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi foto: Pixabay 

***

Kalimat terakhir yang aku ucapkan ternyata membekas dalam batin Mas Pudjo. Bagian yang sepertinya aku lewatkan saat Mas Pudjo membagi kisah perjalanan hidupnya. 

"Ceritamu tentang dia menyentil kesadaranku, Sal. Indah benar arti kesetiaan, kenangan, komitmen. Ah, klise memang. Tapi itu sangat berarti bagiku."

Setiap datang ke sini, luapan memori itu mendera berat. Aku tak bisa melupakannya. "Aku mendapat kembali semua yang pernah kumiliki setelah bangkrut, Sal. Tapi bukan dengan Sita."

Aku sengaja tak menyela. Kupikir inilah saat tepat untuk diam dan mendengar. Aku tahu Mas Pudjo di pernah mengalami masa sulit, tapi tidak utuh. Ia seorang manager di perusahaan asing. Gaji tinggi dan tunjangan besar. Jauh mengalahkan manager-manager di perusahan lokal.

Mas Pudjo tinggalkan semua kemapanan itu. Mas Pudjo ingin curi peluang yang terbentang dalam luasan samudra. Usaha yang dirintisnya awalnya berjalan bagus-bagus saja. Terlebih Mas Pudjo dipercaya sebagai rekanan perusahaan asing tempat ia bekerja dulu.

Namun, badai krisis mendera dunia telah melipat semua harapan Mas Pudjo. Puncaknya, perusahaan Mas Pudjo layu, lalu perlahan mati. Bangkrut. Kepahitan bertambah ketika Mbak Sita memilih pulang ke Surabaya, dan menyerahkan kedua anaknya kepada Mas Pudjo untuk merawatnya.

"Kau mungkin gak percaya, aku pernah jualan jagung bakar di kawasan Senayan dan Medan Merdeka, dekat Monas. Mobil hartop satu-satunya yang tersisa aku punya yang kupakai jualan. Aku berhemat betul, Sal. Buat parkir pun aku hitung."

"Anak-anakku gak pernah tahu. Tahunya aku garap di proyek di Senayan," imbuh Mas Pudjo. 

Mas Pudjo melakoni semua itu setelah kawan-kawan dekatnya menjauh. Suatu kali, ia pun merasa amat sangat sendiri. Ketika mendapat kabar ayahnya meninggal, Mas Pudjo hanya bisa bercengkrama dalam kebingungan karena tak bisa pulang. Pinjaman uang yang diharapkan tak kunjung tiba.

Beberapa bulan berikutnya, giliran ibunya dipanggil Sang Khalik. Mas Pudjo juga hanya mengirim doa. Tangis Mas Pudjo pecah dalam keheningan doa panjangnya di sebuah musala di Kampung Rambutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun