***
Batas penderitaan itu selalu ada ujungnya. Meski tak ada yang mampu menerkanya. Misteri kehidupan banyak diucapkan orang, kendati dalam peradasan yakin dan ragu.
Mas Pudjo membuktikan itu. Mengapungkan optimisme. Bata ringan yang menjadi produk usaha barunya, perlahan menapaki jalan lempang. Membongkar pintu-pintu rezeki yang datang tanpa diduga-duga. Seperti resleting langit yang dibuka, lalu merontokkan berkah dan karunia. Pundi-pundi keuangan tumbuh bak buah stroberi yang mengular cepat di lereng gunung.
"Semua telah kembali. Bahkan jauh melebihi apa yang kudapatkan dulu. Namun perempuan itu, entahlah...," Mas Pudjo tidak melanjutkan ucapannya. Kali ini matanya berair.
"Mungkin kita bisa membeli pengalaman, tapi bukan untuk kenangan. Mas. Boleh saja kita membencinya, padahal bisa jadi itu yang terbaik buat Mas," aku mencoba menghibur.
"Menutup besi masa lalu jauh lebih berharga ketimbang menyakini dia akan kembali, Mas."
Matahari beranjak naik. Tanpa berasa makanan dan hidangan penutup hampir habis. Mas Pudjo memanggil waiter, lalu meminta bill. Ketika beranjak pergi terdengar merdu tembang Hadapi dengan Senyuman milik Dewa 19.
.... Hadapi dengan senyuman/semua yang terjadi biar terjadi/Hadapi dengan tenang jiwa/Semua 'kan baik-baik saja
Bila ketetapan Tuhan/Sudah ditetapkan/Tetaplah sudah/Tak ada yang bisa merubah/Dan takkan bisa berubah
Aku dan Mas Pudjo saling berpandangan, tanpa komando.
Pagi yang melegakan. (agus wahyudi)Â