"Seperti satu naskah berjudul Esiklopedia Nusantara. Pram mewanti-wanti Pak Wie agar naskah tersebut tidak diterbitkan sebelum ada seminar. Tapi sampai sekarang seminar itu gak pernah digelar, sampai Pram wafat," jawabanku ini membuat Syilvia dan Mas Pudjo terkesiap.
"Sudahlah, Mas. Itu tadi anggap intermeso."
"Oh, nggak. Ini menarik. Aku baru dengar dari Anda. Lalu, siapa yang membantu dia sekarang?"
"Pak Wie? Tidak ada, Mas. Di masa tuanya dia hanya tetap menulis dan membaca."
Rumah Pak Wie di Medokan Ayu, Surabaya, aku menimpali, dipakai untuk perpustakaan. Namanya Medayu Agung. Ada enam karyawan yang bekerja merawan ribuan buku, foto-foto, dan dokumen.
Pak Wie pernah dapat tawaran menggiurkan dari Charles Coppel dari University of Melbourne Australia. Intinya, mereka mamu membeli koleksi Pak Wie. Nilainya cukup gede, Rp 1 miliar. Charles Coppel ingin menjadikan koleksi Pak Wie buat pusat studi Indonesia di Australia. Namun Pak Wie menolak karena khawatir bukti-bukti sejarah yang ia punya akan diputarbalikkan.
Bekal menghidupi keluarga dan karyawannya, Pak Wie juga membuka warung, melayani kebutuhan warga sekitar rumahnya.
"Beberapa kali ia terima bantuan dari orang-orang yang peduli, namun hanya sporadis, gak rutin."
Pak Wie, aku menimpali, selalu bangga disebut segelintir orang yang tetap bersemangat menghidupkan budaya literasi.
"Meski juga ada yang menyebut Pak Wie sebagai pribadi yang suka merawat kenangan," ucapku.
Mas Pudjo dan Sylvia tersenyum. "Aku senang dengar ceritamu, Sal. Suatu ketika, aku ingin bertemu dengan dia," ucap Mas Pudjo, sesaat setelah seluruh makanan terhidang di meja.