Sylvia terlihat penasaran sambil terus mendengarkan. Mas Pudjo pun begitu, mimiknya berubah serius. Sementara kedua anaknya sibuk dengan gadget plus headset di telinga.
Aku lantas menyebut nama Oei Hiem Hwie. Dia seorang jurnalis koran Trompet Masjarakat. Kala itu, koran jadi corong Soekarno. Kantor redaksinya dulu, sebelum tutup, di seberang Tugu Pahlawan.
Pak Wie, begitu aku karib menyapa, memang bukan sosok terkenal. Tapi dia sangat dekat dengan Pram. Sama-sama pernah ditahan di Pulau Buru. Dialah yang membantu Pram menulis karya-karya hebat yang lahir dalam dalam pengasingan.
"Dari Pak Wie lah saya dengar banyak cerita tentang Pram yang satire, sedih, sampai menggelikan. Kebiasaan Pram yang suka memanggil dengan suara lantang. Atau tajamnya daya ingat Pram terhadap suatu peristiwa."
Suatu ketika, Pram meminta bantuan Pak Wie untuk menemui seseorang yang berada di blok lain di Pulau Buru. Pram nitip pesan untuk menayakan beberapa hal. Pak Wie diminta mencatat dan mengingat. Tidak boleh mbleset. Karena jika salah, menurut Pram, akan berpengaruh besar pada naskah yang sedang ditulis.
Masa itu, namanya kertas sangat sulit. Karena keterbatasan, Pak Wie sampai harus memotong karung pembungkus semen untuk dipakai menulis. Ia juga berupaya merekam dalam memori otaknya. Tugas dilaksanakan. Setelah Pak Wie menjalani pemeriksaan sebelum menemui teman Pram tersebut. Wawancara pun dilakukan sembunyi-sembunyi. Â
Semua bahan telah didapat Pak Wie. Dia bisa menyampaikan kepada Pram secara detail. Pak Wie menceritakan ulang hasil wawancaranya. Namun baru beberapa kalimat, tiba-tiba Pram memotong, "Wis cukup, cukup, Wie. Aku wis paham," begitu kata Pram.
Sontak, Pak Wie melongo. Bagaimana dengan banyaknya jawaban yang sudah ia tulis? Pak Wie tak bisa berkomentar. Belakangan, ia baru tahu bila Pram hanya butuh keterangan tempat dan waktu. Ini untuk memperkuat alur cerita. Dan, jari-jemari Pram menari-nari di atas mesin ketik dengan lincahnya.
"Apakah dia masih menyimpan manuskripnya?" Sylvia makin penasaran.
"Pak Wie menyimpan naskah asli dari hasil ketikan tangan Pram. Pram hanya minta fotokopiannya saja. Cuma Pram berpesan, naskah-naskah itu gak boleh diterbitkan,"Â
"Ah, benarkah? alasannya?"